Resiko Membeli Tanah SHGB Diatas HPL, Terancam Tidak dapat Diperpanjang dan Gugur

LEGAL OPINION
Question: Jika mau membeli tanah HGB, apa yang paling harus diperhatikan paling utamanya?
Brief Answer: Sebelum membeli hak atas tanah berbentuk SHGB (Sertifikat Hak Guna Bangunan), terlebih dahulu pastikan “SHGB murni” ataukah “SHGB tidak murni”. Yang dimaksud dengan “SHGB tidak murni”, artinya HGB berdiri diatas Hak Pengelolaan (HPL) milik instansi pemerintah atau milik pemerintah daerah. Sementara itu, hanya “SHGB murni” yang lebih menyerupai “hak milik” (quasi hak milik, maka dari itu keliru pendapat yang menyatakan bahwa SHGB/U bukanlah “hak milik”).
Konsekuensi bila dibawah SHGB terdapat HPL, maka sewaktu-waktu keberadaan SHGB dapat terancam gugur akibat habisnya masa berlaku SHGB dan dapat tidak mendapat izin oleh pemegang HPL untuk diperpanjang keberlakuan SHGB tersebut. Dengan kata lain, untuk pembaharuan ataupun perpanjangan hak dalam SHGB, dibutuhkan izin dan persetujuan dari pemegang HPL sebagai prasyarat mutlak. Tentunya hal demikian akan dapat sangat merugikan dikemudian hari, bilamana eksistensi SHGB bergantung pada kesediaan pemegang HPL untuk “dapat diperpanjang” atau “tidak” masa berlakunya.
Berbeda halnya dengan “SHGB murni”, dimana hak pemegang SHGB untuk memperpanjang atau memperbaharukan haknya murni semata di tangan pihak pemegang SHGB, maka dapat disebut juga bahwa “SHGB murni” merupakan quasi “Hak Milik”—dan jenis hak atas tanah itulah yang paling layak untuk dibeli.
Harus juga diwaspadai pemegang HPL “nakal”, yang akan memeras pemegang SHGB untuk membayar izin / harga sewa tanah HPL dengan tarif yang sangat tinggi, yang jika tidak dituruti pemegang SHGB, maka perpanjangan SHGB tidak akan diberikan, yang konsekuensinya hak atas bangunan terancam gugur dan pemerintah setempat tidak akan menerbitkan izin domisili usaha bila tiada izin dari otoritas pemegang HPL atas tanah bangunan usaha demikian yang berjenis “SHGB non murni”.
Pemegang “SHGB non murni” seumur hidup secara yuridis dikodratkan untuk tersandera oleh itikad pihak pemegang HPL. “SHGB non murni” lebih tepat disebut sebagai “hak sewa” atau sebatas “hak pakai”, meski kemasannya bernama “SHGB”.
PEMBAHASAN:
Otoritas pemegang HPL tidak dapat dipaksa untuk memberi izin perpanjangan terhadap SHGB yang berdiri di atasnya, dan menjadi hak prerogatif pemegang HPL, sekalipun pihak pemegang SHGB bersedia dan hendak memperpanjang hak atas tanahnya sebelum masa berlaku HGB berakhir dan bersedia membayar biaya perpanjangan hak atas tanah ke kas negara.
Terdapat sebuah ilustrasi konkret, sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS cerminkan secara relevan dalam putusan Mahkamah Agung RI sengketa perizinan tanah register Nomor 2425 K/Pdt/2015 tanggal 30 Desember 2015, perkara antara:
- PT. HARGAS INDUSTRIES INDONESIA, sebagai Pemohon Kasasi, semula selaku Penggugat; melawan
- PT. KAWASAN BERIKAT NUSANTARA (Persero), selaku Termohon Kasasi dahulu Tergugat.
Semula antara Penggugat den Tergugat menandatangani Perjanjian tertanggal 30 Januari 1989, yakni “Perjanjian Pengalihan Hak” atas sebidang tanah seluas 64.461 meter persegi. Tergugat sepakat menyerahkan tanah tersebut kepada Penggugat untuk mengelola tanah selama 20 tahun.
Perikatan hukum antara Penggugat dan Tergugat adalah perikatan yang beralih “demi hukum” sebagai akibat likuidasi PT. Pusat Perkayuan Marunda (Persero) dan penambahan penyertaan modal negara yang berasal dan kekayaan negara hasil likuidasi perusahaan perseroan (persero) tersebut ke dalam modal saham Perusahaan Perseroan PT Kawasan Berikat Nusantara (Persero).
Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1990 memiliki dampak hukum terhadap perikatan yang sebelumnya pernah dibuat oleh PT. Pusat Perkayuan Marunda (Persero), sehingga “demi hukum” PT. Hargas Industries Indonesia (Penggugat) dan PT. Kawasan Berikat Nusantara (Persero), terikat dengan Perjanjian Pengalihan tersebut.
Dengan telah dibayarkannya biaya ganti-rugi kavling tersebut oleh Penggugat, maka Penggugat berhak atas pengelolaan objek tanah sampai dengan 20 tahun sejak ditandatanganinya perjanjian. Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) Nomor 57, tanggal 8 Februari 1993, bilamana dicermati lebih lanjut, jangka waktu dalam SHGB terdapat perbedaan dengan jangka waktu sebagaimana tertuang di dalam perjanjian.
Sisa Perbedaan Waktu demikian telah dikompensasikan oleh Penggugat kepada Tergugat dengan membayar biaya perpanjangan hak pengelolaan lahan, maka maka jangka waktu perjanjian yang sebelumnya berakhir pada tanggal 30 Januari 2008, dengan begitu menjadi berakhir pada tanggal 30 Januari 2013.
Norma Pasal 26 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha. Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah, mengatur: hak guna bangunan atas tanah hak pengelolaan diperpanjang atau diperbaharui atas permohonan pemegang hak guna bangunan setelah mendapat persetujuan dari pemegang hak pengelolaan.
Sementara dalam Perjanjian tentang Pengalihan Hak, terdapat klausul pemberian persetujuan untuk memperpanjang jangka waktu sertifikat hak guna bangunan, diatur dalam Pasal 20: “Pihak pertama memberikan persetujuan kepada pihak kedua untuk perpanjangan penggunaan tanah tersebut, apabila langka waktu hak guna bangunan berakhir dengan mengajukan permohonan satu tahun dimuka.”
Perjanjian tersebut demi hukum telah menegaskan adanya kewajiban hukum dari Tergugat, untuk memberikan persetujuan perpanjangan yang dimohonkan oleh Penggugat sebelum jangka waktu keberlakuan SHGB berakhir. Karena itu Penggugat menyampaikan Surat Permohonan Rekomendasi Perpanjangan SHGB kepada Tergugat pada tanggal 27 Oktober 2011, yang ditembuskan juga ke Kantor Pertanahan.
Penggugat mengajukan permohonan rekomendasi perpanjangan tersebut pada tanggal 27 Oktober 2011 [diajukan 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan sebelum HGB berakhir]. Karenanya, demi hukum Tergugat memiliki kewajiban hukum untuk memberikan persetujuan perpanjangan HGB kepada Penggugat.
Telah ternyata Tergugat tidak kunjung memberikan tanggapan maupun persetujuan untuk memberikan rekomendasi perpanjangan sebagaimana telah diatur di dalam Perjanjian. Sehingga Tergugat secara terang dan nyata telah tidak melakukan apa yang seharusnya menjadi kewajiban hukum yang sebelumnya telah disepakati dalam Perjanjian, alias wanprestasi.
SHGB yang telah habis masa berlakunya dapat diperpanjang setelah mendapatkan persetujuan dan pemegang hak pengelolaan. Dalam hal ini, Penggugat selaku hak pemegang SHGB baru dapat mengajukan perpanjangan bilamana telah mendapatkan izin dari pemegang hak pengelolaan tanah (Tergugat).
Justru pihak Tergugat menunjukkan suatu itikad tidak baik, yaitu menaikkan biaya ganti-rugi yang sangat jauh dari harga yang telah disepakati di dalam perjanjian sebelumnya. Tergugat secara sepihak telah menentukan biaya perpanjangan penggunaan tanah industri sebesar Rp34.746.300.000,00—dengan mendalilkan bahwa angka nominal tersebut sesuai hasil penilaian Appraisal tanah independen KJPP (Kantor Jasa Penilai Publik). Namun yang menjadi keberatan pihak Penggugat, ialah bahwa nilai tersebut ialah harga pasar untuk jual-beli, bukan untuk nilai perpanjangan hak atas tanah.
Konsekuensinya, kini Tergugat menghentikan segala pemberian fasilitas (utilities) seperti penggunaan akses jalan, listrik, air bersih, dan lain-lain yang selama ini dipergunakan oleh Penggugat termasuk penggunaan alamat/domisili usaha, papan nama atau kabel perusahaan, dan papan reklame di dalam areal Kawasan Berikat Nusantara.
Terhadap gugatan sang pemegang ex-SHGB “non murni”, pihak otoritas pemegang HPL mengajugan gugatan balik (rekonpensi), dimana untuk itu Pengadilan Negeri Jakarta Utara kemudian menjatuhkan putusan Nomor 506/Pdt.G/2013/PN Jkt Ut., tanggal 11 Agustus 2014, dengan amar sebagai berikut:
MENGADILI :
Dalam Konvensi:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
2. Menyatakan Tergugat telah wanprestasi dalam memenuhi kewajibannya terhadap Akta Perjanjian Nomor 195, tertanggal 30 Januari 1989 beserta perubahannya;
3. Menyatakan Tergugat telah berikhtikad tidak baik dalam menentukan harga secara sepihak;
4. Menetapkan biaya perpanjangan PPTI HGB di atas HPL yang harus dibayarkan Penggugat kepada Tergugat sejumlah Rp4.555.626.000,00 untuk jangka waktu selama 20 tahun terhitung sejak tanggal 7 Februari 2013 sampai dengan tanggal 7 Februari 2033;
5. Menghukum Tergugat untuk melaksanakan isi Perjanjian Nomor 195, tertanggal 30 Januari 1989 dan segera membuat dan menerbitkan Persetujuan Perpanjangan HGB Nomor 57/Cilincing atas Penggugat dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sejak putusan a quo mempunyai kekuatan hukum tetap;
Dalam Rekonvensi:
- Menolak gugatan Penggugat Rekonvensi tersebut.”
Dalam tingkat banding atas permohonan Tergugat, alih-alih gugatan berbuah manis, putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara di atas kemudian dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta dengan Putusan Nomor 719/PDT/2014/PT.DKI., tanggal 19 Januari 2015, dengan pertimbangan hukum serta amar sebagai berikut:
“Menimbang, ... Tidak diberikan perpanjangan penggunaan lahan tidak dapat dikategorikan / dikualifikasikan sebagai wanprestasi;
MENGADILI :
- Menerima permohonan banding dari Pembanding semula Tergugat Dalam Konvensi / Penggugat Dalam Rekonvensi;
- Membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara tanggal 11 Agustus 2014, Nomor 506/Pdt.G/2013/PN Jkt Ut., yang dimohonkan banding tersebut
Mengadili Sendiri:
Dalam Konvensi:
- Menolak gugatan konvensi untuk seluruhnya;
Dalam Rekonvensi:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat Rekonvensi untuk sebagian;
2. Menyatakan Tergugat Rekonvensi telah melakukan perbuatan melawan hukum;
3. Menghukum Tergugat Rekonvensi atau orang-orang yang memperoleh hak daripadanya untuk menyerahkan penguasaan tanah bekas HGB Nomor 57/Cilincing kepada Penggugat Rekonvensi;
4. Menghukum Tergugat Rekonvensi dan atau orang-orang yang memperoleh hak daripadanya untuk membayar ganti rugi kepada Penggugat Rekonvensi sebesar Rp4.759.763,123 setiap hari, terhitung sejak berakhirnya HGB Nomor 57/Cilincing, yakni tanggal 7 Februari 2003 sampai dengan Tergugat Rekonvensi menyerahkan tanah eks HGB Nomor 57/Cilincing, atau sampai putusan ini berkekuatan hukum tetap;
5. Menolak gugatan Penggugat Rekonvensi untuk selain dan selebihnya.”
Pihak pemegang SHGB mengajukan upaya hukum kasasi, dengan pokok keberatan bahwa habisnya masa berlaku SHGB karena Penggugat keberatan membayar biaya perpanjangan penggunaan tahan industri (PPTI) yang tidak wajar yang ditetapkan secara sepihak yang nominal yang tidak wajar oleh Tergugat, sehingga dinilai cenderung memeras Pemegang SHGB.
Dimana terhadapnya, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan kasasi tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti dengan seksama memori kasasi tanggal 17 April 2015 dan kontra memori kasasi tanggal 8 Mei 2015 dan dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti dalam hal ini Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta yang membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara, ternyata tidak salah dalam menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
“Bahwa Penggugat sudah tidak mempunyai hak lagi atas tanah sengketa, karena masa pengelolaan yang diperjanjikan telah berakhir;
“Bahwa meskipun telah ada permohonan perpanjangan yang diajukan Penggugat, tidaklah serta-merta mesti dikabulkan, karena tentu Tergugat mempunyai persyaratan-persyaratan tertentu yang harus dipenuhi Penggugat sebagaimana diatur dalam ketentuan yang berlaku;
“Bahwa tidak disetujuinya perpanjangan Perpanjangan Penggunaan Tanah Industri yang diberikan status HGB di atas HPL oleh Tergugat, bukanlah merupakan suatu wanprestasi ataupun perbuatan melawan hukum lainnya, karena itu memang hak Tergugat;
“Bahwa ditolaknya gugatan konvensi, kemudian dikabulkannya gugatan rekonvensi, maka sudah dinilai sangat tepat, sehingga pertimbangan dan putusan Judex Facti (Pengadilan Tinggi) telah sesuai hukum;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, lagi pula ternyata bahwa Putusan Judex Facti (Pengadilan Tinggi) dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi PT. HARGAS INDUSTRIES Indonesia tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi PT. HARGAS INDUSTRIES INDONESIA tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.