Menunggak Kredit Bank BUMN/D Berujung Pidana Korupsi, Tindak Pidana Korupsi dalam Sektor Swasta

LEGAL OPINION
Question: Jika mendapat kredit dari bank negeri (milik pemerintah, BUMN/D) tapi tak melunasinya, apa pernah terjadi debitornya dipidana penjara korupsi, mengingat katanya dana milik Badan Usaha Milik Negara ataupun Milik Daerah itu tetap dikategorikan sebagai bagian dari keuangan atau kekayaan milik negara? Mengapa juga disebut korupsi karena merugikan, toh sudah ada agunan saat mengajukan kredit yang sewaktu-waktu bisa dilelang jika kredit macet cicilannya.
Brief Answer: Wanprestasi atau gagal bayar untuk melunasi dana pinjaman pada perbankan “plat merah”, bila tiada faktor “niat buruk” (mens rea) untuk terjadinya ingkar janji melunasi, maka menjadi murni perkara perdata wanprestasi. Namun bila permohonan pengajuan kredit diwarnai nuansa tipu-muslihat seperti penggunaan dokumen yang dipalsukan, atau bahkan disertai niat sejak awal untuk menunggak (menggelapkan atau istilah lainnya), maka hal tersebut tidak lagi dikategorikan murni perkara perdata, namun juga pidana perbankan, pemalsuan surat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, jo. tindak pidana korupsi bila kredit bersumber dari perbankan “plat merah” yang bila secara nyata telah merugikan “keuangan negara” (uang hak milik segenap Rakyat).
Perlu juga dipahami, menurut pendirian praktik peradilan, memproses permohonan dana kredit secara ilegal demikian, sekalipun saat ini secara administratif masih berstatus sebagai kredit lancar dan masih dalam masa grace period, namun demikian karena pemberian kreditnya dilakukan atas dokumen-dokumen yang tidak benar, maka secara hukum keputusan pemberian kredit tersebut adalah invalid dan secara akuntansi dianggap sebagai kerugian total (total loss). Hal tersebut sekaligus sebagai salah satu contoh Tindak Pidana Korupsi dalam Sektor Swasta.
PEMBAHASAN:
Terdapat sebuah ilustrasi konkret yang sangat representatif, sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS cerminkan lewat putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Palembang, yang memeriksa dan mengadili perkara Tipikor register Nomor 46/PID.SUS/2013/PN.PLG tanggal 02 April 2014.
Yang menjadi Terdakwa, ialah debitor salah satu perbankan “plat merah”. Terhadap tuntutan Jaksa Penuntut, dimana terhadapnya Majelis Hakim membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, ... unsur-unsur Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tersebut diatas jo. Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHPidana, adalah sebagai berikut :
1. Setiap orang;
2. Secara melawan hukum
3. Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;
4. Yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;
5. Unsur orang yang melakukan, menyuruh melakukan dan turut serta melakukan;
“Menimbang, bahwa pengertian perbuatan melawan hukum formil adalah semua perbuatan yang dilakukan bertentangan dengan peraturan, baik itu Undang-Undang ataupun peraturan lain di bawah Undang-Undang, seperti Peraturan Premerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, Peraturan Daerah dan seterusnya;
“Menimbang, bahwa menurut keterangan saksi-saksi antara lain saksi Sasmito, saksi Suharyanto, saksi Budiman, SH, saksi Sadarman, SE, saksi Sulaiman Tahe, SE yang dibenarkan oleh Terdakwa dinyatakan bahwa PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. Cabang Lubuklinggau pada tahun 2008 dan 2009 telah menyetujui pemberian fasilitas kredit investasi 118 orang petani peserta selaku debitur dalam rangka program revitalisasi perkebunan dengan pola non kemitraan dengan total limit kredit sebesar Rp 7.314.350.106,- yang persetujuannya dilakukan secara bertahap, yaitu pada tahun 2008 disetujui sebanyak 91 orang dengan limit kredit sebesar Rp 5.640.661.754,- dan pada tahun 2009 sebanyak 27 orang dengan limit sebesar Rp 1.674.188.352,-;
“Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan saksi-saksi, antara lain saksi Sasmito, saksi Suharyanto, saksi Budiman, SH, saksi Wiguno yang diakui pula oleh Terdakwa dinyatakan bahwa para petani yang terdaftar sebagai debitur fasilitas kredit dalam rangka revitalisasi perkebunan tidak tinggal dan berkebun di Desa Lubuk Pauh, melainkan berasal dari Desa Tugu Mulyo;
“Menimbang, bahwa para petani tersebut di dalam berkas perkreditannya memang melampirkan fotocopy KTP dan KK serta Surat Keterangan Domisili seolah-olah para petani tersebut adalah penduduk Desa Lubuk Pauh dan bertempat tinggal serta berkebun di Desa Lubuk Pauh, namun berdasarkan keterangan saksi Sasmito dan saksi Suharyanto dinyatakan bahwa pada saat akan mengikuti program revitalisasi perkebunan ini memang mereka diminta mengumpulkan data identitas berupa fotocopy KTP dari Desa Tugu Mulyo, sehingga pada saat di persidangan ditunjukkan bukti fotocopy KTP Desa Lubuk Pauh, Kecamatan BTS Ulu keduanya tidak mengakui bahwa fotocopy KTP tersebut adalah milik mereka. Hal ini diperkuat dengan hasil pemeriksaan lapangan oleh Tim Audit Internal BRI, sesuai yang disampaikan oleh saksi Wiguno, yang menjumpai 6 (enam) orang petani peserta yang menyatakan bahwa mereka tidak bertempat tinggal dan berkebun di Desa Lubuk Pauh, sehingga data-data persyaratan kredit yang berupa antara lain KTP, KK dan Surat Keterangan Domisili adalah tidak benar, sehingga para petani tersebut seharusnya tidak memenuhi syarat sebagai peserta revitalisasi perkebunan, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian No. 33/Permentan/Ot.140/7/2006 tanggal 26 Juli 2006 dan Surat Edaran Kantor Pusat BRI NOSE : S.41-DIR/ADK/12/2006 tanggal 20 Desember 2006;
“Menimbang, bahwa berdasarkan Surat Keputusan Direksi PT BRI (Persero) Tbk NOKEP : S.26-DIR/ADK/06/2006 tanggal 16 Juni 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Kredit Bisnis Ritel PT. BRI (Persero) Tbk. (PPK Bisnis Ritel) antara lain dinyatakan bahwa pre-screening (pemeriksaan awal) adalah suatu prakarsa dan evaluasi yang mendalam oleh pejabat pemrakarsa kredit, menyangkut antara lain PS (Pemeriksaan Setempat), KRD (Kredit yang bisa diberikan), Daftar Hitam, dan lain-lain, sehingga suatu permohonan kredit dapat disimpulkan apakah dapat diproses lebih lanjut atau tidak;
“Menimbang, bahwa berdasarkan Surat Keputusan Direksi PT. BRI (Persero) Tbk NOKEP : S.3-DIR/ADK/02/2008 tanggal 21 Februari 2008 tentang Revisi Pedoman Pelaksanaan Kredit Bisnis Ritel PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (PPK Bisnis Ritel) Poin C. Profesionalisme dan Integritas Pejabat Kredit dinyatakan bahwa semua pejabat BRI yang terkait dengan perkreditan harus mentaati etika pemberian kredit, meliputi:
a. Melaksanakan kemahiran profesionalnya dibidang perkreditan secara jujur, obyektif, cermat dan seksama.
b. Menyadari dan memahami sepenuhnya : Undang Undang Republik Indonesia No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang Undang No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan, serta menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan sebagaimana disebutkan dalam pasal 49 ayat 2 (dua) UU dimaksud.
c. Menyadari bahwa setiap pemberian kredit kepada peminjam manapun dan atau dari kelompok apapun hendaknya benar-benar didasarkan pada asas-asas kredit yang sehat, didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan yang obyektif, independen dan profesionalisme perbankan.
d. Menyadari bahwa profesionalisme perbankan merupakan tuntutan bagi pejabat bank dalam penguasaan kondisi usaha usaha peminjam, obyektifitas dari analisis / putusan yang diambil, kemandirian dalam mengambil sikap / putusan, pemahaman aspek legal perkreditan dan ketertiban pelaksanaan kepatuhan terhadap peraturan;
“Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan saksi Rifai Bin Danuri dan saksi Hasan Basri Nasution, keduanya pegawai Bagian ADK BRI Cabang Lubuklinggau menyatakan bahwa keduanya hanya memeriksa kelengkapan dokumen persyaratan kredit, namun tidak melakukan verifikasi apakah dokumen-dokumen sudah benar, seperti KTP yang tidak ada foto dan tanda tangan pemiliknya, Kartu Keluarga (KK) yang juga tidak ada tanda tangan pemilik / Kepala Keluarga serta diterbitkan kemudian setelah terbit KTP dan berdasarkan keterangan saksi Ruli Ade Mulya, S.Ip (Kasie Pemerintahan Kecamatan BTS Ulu) dan saksi Nawawi, SH, MH (Camat BTS Ulu) yang membawahi Desa Lubuk Pauh keduanya menyatakan bahwa KTP dan KK tersebut tidak pernah diterbitkan oleh Kecamatan BTS Ulu;
“Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan saksi Sadarman, SE dan Sulaiman Tahe, SE menyatakan bahwa selaku Pemimpin Cabang BRI yang bertindak sebagai pemutus kredit keduanya tidak memeriksa berkas-berkas persyaratan kredit, karena hal tersebut merupakan tugas dan kewenangan Account Officer (AO) selaku pemrakarsa kredit, sedangkan Terdakwa selaku AO tidak memeriksa keabsahan dokumen persyaratan kredit, karena sudah diseleksi oleh Pemerintah Daerah, dalam hal ini Dinas Perkebunan Kabupaten Musi Rawas;
“Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan Terdakwa dinyatakan bahwa Terdakwa telah melakukan kunjungan nasabah dan Terdakwa juga mengetahui bahwa para petani tersebut tidak bertempat tinggal di Desa Lubuk Pauh, namun di dalam formulir Laporan Kunjungan Nasabah (LKN) ternyata Terdakwa tidak menjelaskan tentang keadaan seperti ini, bahkan data nomor KTP dan KK yang tercantum pada LKN dan Memorandum Analisis Kredit (MAK) menggunakan nomor yang sama untuk setiap petani peserta, demikian juga data lahan lokasi kebun batas-batasnya adalah sama (utara, selatan, barat dan timur);
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut tindakan Terdakwa telah melanggar ketentuan Surat Keputusan Direksi PT. BRI (Persero) Tbk NOKEP : S.26-DIR/ADK/06/2006 tanggal 16 Juni 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Kredit Bisnis Ritel PT. BRI (Persero) Tbk. (PPK Bisnis Ritel) dan Surat Keputusan Direksi PT. BRI (Persero) Tbk NOKEP : S.3-DIR/ADK/02/2008 tanggal 21 Februari 2008 tentang Revisi Pedoman Pelaksanaan Kredit Bisnis Ritel PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (PPK Bisnis Ritel);
“Menimbang, bahwa berdasarkan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 27/162/KEP/DIR tanggal 31 Maret 1995 tentang Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan Kebijakan Perkreditan Bank bagi Bank Umum ditetapkan antara lain sebagai berikut:
a. Prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit adalah memberikan kredit dengan cara-cara yang hati-hati, sehingga tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank;
b. Bank harus memastikan kebenaran data dan informasi yang disampaikan dalam permohonan kredit;
c. Bank wajib melakukan verifikasi lebih lanjut terhadap dokumen identitas debitur, antara lain melalui telepon, kunjungan langsung ke debitur atau melakukan konfirmasi kepada pihak lain yang mengenal debitur;
d. Bank harus melakukan analisis secara lengkap, akurat dan obyektif yang menggambarkan semua informasi terhadap usaha dan data pemohon;
“Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan saksi-saksi, antara lain saksi Sasmito, saksi Suharyanto, saksi Budiman, SH, saksi Nawawi, SH, MH, saksi Ruli Ade Mulya, S.Ip dan bukti surat berupa berkas perkreditan yang ditunjukkan di muka persidangan diperoleh kesimpulan bahwa perbuatan Terdakwa sebagai Account Officer dalam memproses kredit telah melanggar ketentuan dalam PPK Bisnis Retail dengan cara menggunakan dokumen identitas (KTP dan KK) serta Surat Keterangan Domisili yang tidak sesuai dengan keadaannya dan tidak melengkapi persyaratan kredit seperti : tidak adanya BI Checking untuk mengetahui apakah seorang calon debitur memiliki pinjaman di bank lain, tidak ada kunjungan nasabah, tapi Terdakwa membuat Laporan Kunjungan Nasabah (LKN) yang seolah-olah telah dilaksanakan kunjungan nasabah, Terdakwa tidak melakukan analisa tehadap calon debitur berdasarkan prinsip kehati-hatian dan kredit yang diajukan atas nama pemohon namun digunakan oleh orang lain dalam hal ini saksi Budiman, SH,;
“Menimbang, bahwa menurut Prof. Sudarto perbuatan memperkaya artinya berbuat apa saja misalnya mengambil, memindah-bukukan, menanda-tangani kontrak dan lain sebagainya oleh si pembuat sehingga bertambah kekayaannya.
“Menimbang, memperhatikan penggunaan imbuhan ‘memper’ pada kata dasar ‘kaya’ menunjukkan bahwa kata ‘memperkaya’ memiliki arti sebagai suatu perbuatan aktif untuk membuat kaya atau menambah kaya, sehingga ‘memperkaya’ sama artinya dengan perbuatan seseorang yang semula belum kaya menjadi kaya atau perbuatan seseorang yang sebelumnya sudah kaya menjadi bertambah kaya lagi;
“Menimbang, menurut hemat Majelis bahwa yang menjadi ciri atau ukuran dari adanya perbuatan ‘memperkaya’ sebagaimana dimaksud pasal 2 ayat (1) Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, adalah dengan adanya fakta pertambahan kekayaan dari pelaku atau orang lain atau korporasi yang dibuat kaya tersebut, dan mengenai hal ini bisa dipastikan dengan membandingkan harta kekayaan yang ada sebelum dan sesudah perbuatan korupsi itu dilakukan oleh pelaku.
“Menimbang, bahwa berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan proses pencairan kredit terhadap 118 debitur dilakukan dengan masing-masing debitur, namun kemudian hasil pencairan kreditnya diserahkan kepada saksi Budiman, SH dengan dalih untuk mengelola dan membiayai kebun-kebun para petani;
“Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan saksi Sasmito dan saksi Suharyanto menyatakan bahwa mereka bukan merupakan petani pekebun dan tidak berdomisili di Desa Lubuk Pauh dan bahkan menyatakan tidak memiliki lahan kebun serta tidak tahu lokasi lahan kebunnya yang menurut pengakuannya telah dibelinya, sehingga diperoleh petunjuk bahwa penggunaan nama-nama petani tersebut adalah merupakan akal-akalan dan upaya rekayasa dari saksi Budiman, SH yang sebetulnya pemilik seluruh lahan perkebunan agar memenuhi syarat untuk memperoleh fasilitas kredit investasi dalam rangka program revitalisasi perkebunan;
“Menimbang, bahwa berdasarkan fakta persidangan terungkap bahwa data identitas Debitur / petani peserta yang meliputi KTP, KK dan Surat Keterangan Domisili ternyata tidak sesuai dengan kenyataannya atau dengan kata lain data identitas tersebut dibuat hanya untuk secara formalitas telah memenuhi persyaratan kredit yang ditetapkan, sehingga terkandung unsur rekayasa hanya menggunakan nama-nama debitur saja, dengan kata lain pemohon kredit bukanlah orang yang menerima pencairan kredit, hal ini terbukti bahwa hasil pencairan kredit oleh para petani diserahkan kepada saksi Budiman, SH dan hal ini diakui pula oleh saksi Budiman, SH;
“Menimbang, bahwa berdasarkan temuan Tim Audit Internal BRI sebagaimana dikemukakan oleh saksi Wiguno yang berhasil menjumpai 6 (enam) orang petani yang namanya tercantum sebagai debitur kredit revitalisasi perkebunan dijelaskan bahwa para petani tersebut tidak tinggal dan berkebun di Desa Lubuk Pauh, sedangkan yang mengerjakan / mengelola kebun adalah orang-orang atau pekerja yang diperintahkan oleh saksi Budiman, SH dan tinggal di dalam bedeng-bedeng yang dibangun di lokasi kebun dan sesuai keterangan saksi Sasmito dan saksi Suharyanto uang hasil pencairan kreditnya diserahkan kepada saksi Budiman, SH, sehingga fasilitas kredit yang digunakan oleh orang lain menurut keterangan saksi Wiguno dan saksi Sadarman, SE digolongkan sebagai kredit topengan;
“Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan saksi Budiman, SH menyatakan bahwa yang bersangkutan mengakui telah menerima penyerahan dari para petani uang yang berasal dari pencairan kredit hingga mencapai jumlah sebesar Rp 2.334.000.000,-, hal ini menunjukkan bahwa pemberian kredit investasi dalam rangka program revitalisasi perkebunan kepada 118 petani peserta oleh BRI Cabang Lubuklinggau telah memperkaya saksi Budiman, SH sebesar uang yang telah diterimanya dan/atau pemilikan lahan kebun beserta tanamannya;
“Menimbang, bahwa menurut keterangan saksi Budiman, SH menyatakan bahwa setiap pencairan kredit yang bersangkutan selalu memberikan bagian uang kepada saksi Sadarman, SE yang jumlahnya diperkirakan mencapai sekitar Rp 200.000.000,- dan kepada saksi Ali Imron sebesar Rp 75.000.000,- serta dalam jumlah yang relatif kecil juga pernah memberikan uang kepada Terdakwa, namun karena keterangan ini hanya berdiri sendiri, sehingga Majelis berpendapat bahwa Terdakwa tidak terbukti telah ikut menerima dan/atau menikmati uang hasil tindak pidana tersebut, namun tindakan Terdakwa terbukti telah memperkaya orang lain;
“Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan ‘merugikan keuangan Negara’ secara harfiah adalah sama artinya dengan menjadi rugi / berkurangnya keuangan Negara;
“Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan keuangan negara dalam penjelasan umum Undang-undang No.31 Tahun 1999 yang diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No.20 Tahun 2001 adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, baik yang dipisahkan atau tidak dipisahkan, termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban, yang timbul karena:
1. berada dalam penguasaan,pengurusan, dan pertanggung jawaban pejabat lembaga negara, baik ditingkat pusat maupun daerah.
2 berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggung-jawaban Badan Usaha Milik Negara / Badan Usaha Milik Daerah, Badan Hukum perusahaan yang menyertakan Modal Negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berasarkan perjanjian yang berasal dari kekayaan negara.
“Menimbang, bahwa berdasarkan Pasal 1 Angka (1) Undang-Undang No.19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara dinyatakan selanjutnya BUMN adalah Badan Usaha yang seluruh maupun sebagian besar modalnya dimiliki oleh Negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari Kekayaan Negara yang dipisahkan.
“Menimbang bahwa Pasal 1 Angka (2) Undang-undang no.19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara dinyatakan bahwa Persero adalah perusahaan perseroan yang modalnya terbagi dalam saham seluruh atau paling sedikit 51 % (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan.
“Menimbang, bahwa PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. adalah merupakan Badan Usaha Milik Negara yang berbentuk Persero, sehingga kerugian yang menimpa BRI adalah merupakan kerugian keuangan negara;
“Menimbang, bahwa fasilitas kredit investasi yang diberikan oleh BRI Cabang Lubuklinggau kepada 118 orang petani peserta dalam rangka program revitalisasi perkebunan saat ini secara administratif masih berstatus sebagai kredit lancar dan masih dalam masa grace period, namun demikian karena pemberian kreditnya dilakukan atas dokumen-dokumen yang tidak benar, maka secara hukum keputusan pemberian kredit tersebut adalah tidak sah dan secara akuntansi dianggap sebagai kerugian total (total loss), sehingga BRI Cabang Lubuklinggau menderita kerugian sebesar fasilitas kredit yang telah dicairkan, yaitu sebesar Rp 3.681.030.800,- sesuai dengan keterangan Ahli dari BPKP Perwakilan Provinsi Sumatera Selatan;
“Menimbang, bahwa berdasarkan fakta persidangan terungkap pula bahwa lahan perkebunan yang dibiayai dengan fasilitas kredit tersebut berada di kawasan hutan produksi yang menurut Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 76/KPTS-II/2001 tanggal 15 Maret 2001 tidak diperbolehkan untuk dijadikan lahan perkebunan warga karena merupakan tanah negara;
“Menimbang, bahwa lahan perkebunan yang dibiayai dengan fasilitas kredit investasi yang ternyata berada dalam kawasan hutan produksi telah diterbitkan sertifikat tanah berupa Sertifikat Hak Milik, hal ini akan menimbulkan permasalahan hukum tersendiri di kemudian hari, antara lain BRI tidak dapat melakukan eksekusi terhadap lahan kebun tersebut apabila kreditnya dinyatakan macet dan/atau timbulnya sengketa kepemilikan lahan;
Menimbang, bahwa lahan perkebunan yang dijadikan sebagai agunan tambahan untuk fasilitas kredit investasi yang merupakan second way out, namun karena juga sekaligus hasil kebun tersebut merupakan sumber pelunasan bagi fasilitas kreditnya yang berarti merupakan first way out, maka sesuai dengan pendapat Ahli dari Bank Indonesia (Elyana Kurniati Widyasari) kolektibilitas atau kualitas kredit tersebut perlu dilakukan penyesuaian (adjudgement), tidak bisa lagi digolongkan sebagai kredit lancar, sehingga pemberian kredit kepada 118 orang petani peserta dalam rangka program revitalisasi perkebunan sekurang-kurangnya berpotensi menimbulkan kerugian bagi BRI. Hal ini sesuai dengan unsur pasal ini yang menggunakan kata “dapat” menimbulkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara, yang berarti bahwa kerugian keuangan negara tersebut tidak harus sudah terjadi;
“Menimbang, bahwa keberadaan dan penerapan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana dalam suatu dakwaan adalah bukan sebagai unsur delik melainkan untuk memperluas pelaku yang dapat dimintakan pertanggung-jawaban atas terjadinya sebuah peristiwa pidana. Penerapan ketentuan Pasal 55 ayat (1) ke-1 memungkinkan untuk menjerat orang lain sekalipun peranannya hanya sebagai peserta (yang melakukan bersama-sama), menyuruh melakukan, ataupun yang peranannya hanya menyediakan sarana saja, yaitu untuk diposisikan sebagai pelaku dari tindak pidana yang didakwakan;
“Menimbang, bahwa oleh karena fungsi dari Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana tersebut adalah seperti yang telah dipertimbangkan di atas, maka dalam hal tidak terbukti ada orang lain yang turut serta mengambil peranan secara bersama-sama dengan terdakwa dalam melakukan perbuatan yang didakwakan, hal ini tidak dengan sendirinya menjadikan terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan yang telah terbukti dilakukannya, dan sebaliknya dengan pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP ini memungkinkan seorang peserta dapat dihukum atas perbuatannya, walaupun perbuatannya tersebut hanya memenuhi sebagian saja dari tindak pidana, atau peserta itu hanya memberikan sumbangan maupun bantuan dalam bentuk perbuatan-perbuatan tertentu kepada orang lain untuk melaksanakan tindak pidana;
“Menimbang, bahwa pemberian kredit merupakan suatu rangkaian proses dari awal berupa kelengkapan administrasi, analisis, putusan kredit, Instruksi Pencairan Kredit hingga pelaksanaan pencairan kredit merupakan suatu rangkaian yang saling berhubungan dan tidak bisa dipisahkan sebagaimana keterangan ahli Elyana Kurniati Widyasari;
“Menimbang, bahwa tugas Terdakwa selaku Account Officer sebagai pemrakarsa kredit, sebagai petugas yang menganalisa kelayakan kredit berdasarkan prinsip kehati-hatian, sebagai petugas yang memproses paket kredit, sedangkan tugas Pincapem adalah sebagi pemutus kredit dan tugas Bagian Administrasi Kredit (ADK) dan tugas Teller adalah memproses dan melaksanakan pencairan kredit;
“Menimbang, bahwa dalam hal pencairan kredit 118 debitur maka terhadap pejabat administrasi (ADK), terdakwa selaku pejabat Account Officer dan pimpinan cabang sebagai pemutus kredit dan kasir (Teller) semuanya terlibat secara langsung dan mempunyai tanggung jawab secara internal bank maupun tanggung jawab pidana apabila proses pemberian kredit tersebut dilakukan dengan cara-cara yang tidak benar dan melanggar ketentuan-ketentuan internal maupun ketentuan perundang-undangan;
“Menimbang, bahwa pada tahun 2008 Terdakwa yang menjabat sebagai Account Officer yang bertugas sebagai pemrakarsa kredit telah menerima berkas permohonan kredit sebanyak 150 orang petani peserta program revitalisasi perkebunan sebagaimana telah ditetapkan dengan Surat Keputusan Bupati Musi Rawas No. 37/KPTS/PERKE/2008 tanggal 27 Februari 2008 yang selanjutnya setelah dilakukan verifikasi oleh Terdakwa hanya 118 orang yang memenuhi persyaratan;
“Menimbang, bahwa permohonan kredit sebanyak 118 orang yang telah dilakukan analisis dan direkomendasikan oleh Terdakwa untuk disetujui oleh Pemimpin Cabang sebagai pejabat pemutus kredit ternyata sesuai fakta persidangan didasarkan pada dokumen-dokumen yang tidak benar, bahkan formulir LKN (Laporan Kunjungan Nasabah) dan formulir penilaian jaminan yang dibuat oleh Terdakwa tidak sesuai dengan keadaannya, sehingga menyebabkan hasil analisis kredit tersebut dinyatakan layak untuk disetujui / dibiayai dan sesuai rekomendasi dari Terdakwa permohonan kredit tersebut telah disetujui oleh pejabat pemutus kredit, yang dalam hal ini adalah Pemimpin Cabang;
“Menimbang, bahwa apabila Terdakwa telah melakukan langkah-langkah verifikasi, penilaian maupun analisis secara hati-hati (prudent) sebagaimana yang ditetapkan dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 27/162/KEP/DIR tanggal 31 Maret 1995 maupun ketentuan UU Pokok Perbankan yang menuntut langkah kehati-hatian (prudential banking) dalam pemberian kredit, maka permohonan kredit tersebut seharusnya dinyatakan tidak layak. Hal ini sesuai dengan keterangan saksi Sadarman, SE, saksi Sulaiman Tahe, SE, saksi Wiguno maupun pendapat Ahli dari Bank Indonesia (Elyana Kurniati Widyasari);
“Menimbang, bahwa karena langkah-langkah yang dilakukan oleh Terdakwa tidak sesuai dengan peraturan internal BRI maupun Bank Indonesia serta UU Pokok Perbankan, maka Terdakwa bersama-sama dengan Pemimpin Cabang (Sadarman, SE dan Sulaiman Tahe, SE) dan saksi Budiman, SHturut serta menyebabkan timbulnya kerugian keuangan negara tersebut;
“Menimbang, bahwa Terdakwa dalam pembelaannya yang disampaikan secara tertulis selengkapnya seperti tersebut dalam pembelaannya tertanggal ... yang disampaikan dalam persidangan tanggal ... yang pada pokoknya menyatakan sebagai berikut:
1. Bahwa BUMN adalah badan usaha yang memiliki kekayaan terpisah dari kekayaan negara dan fasilitas kredit yang diberikan 100% dibiayai oleh BRI, sehingga dalam kasus ini tidak ada kerugian negara;
2. Bahwa pemberian kredit telah dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, yaitu Surat Edaran Direksi BRI NOSE : S.41-DIR/ADK/12/2006 tanggal 20 Desember 2006 dan sampai saat ini fasilitas kreditnya masih dinyatakan lancar dan Terdakwa juga belum dinyatakan bersalah oleh pihak BRI;
3. Bahwa pernyataan Jaksa Penuntut Umum yang menyimpulkan bahwa permohonan kredit dari 118 orang petani adalah fiktif dengan hanya menghadirkan saksi 2 (dua) orang petani tidak dapat digeneralisasi;
4. Bahwa Terdakwa tidak memiliki wewenang untuk memutus dan mencairkan kredit, sehingga bagaimana bisa dinyatakan telah melakukan tindak pidana korupsi, sementara penerima kredit yang telah menerima uangnya masih bebas di luar;
5. Bahwa fasilitas kredit KPEN-RP adalah merupakan kredit program, di mana Pemerintah Daerah cq. Dinas Perkebunan Kabupaten Musi Rawas memiliki peran aktif dan terlibat langsung mulai pemilihan calon petani dan calon lokasi (CPCL), pengumpulan berkas persyaratan kredit, seperti KTP dan KK, pengajuan permohonan pembuatan sertifikat tanah (SHM) kepada BPN dan lain-lain;
6. Bahwa Inisiatif pengajuan kredit KPEN-RP berasal dari Pemerintah Daerah cq. Dinas Perkebunan Kabupaten Musi Rawas dan seleksi awal telah dilakukan oleh Dinas dan Instansi terkait;
7. Bahwa fasilitas kredit diberikan setelah ada asli sertifikat tanah (SHM) dan telah dilakukan pengikatan hak tanggungan serta dilengkapi dengan dokumen persyaratan yang sah yang dikeluarkan oleh instansi-instansi yang berwenang;
8. Bahwa Terdakwa memproses permohonan kredit adalah karena tugas yang melekat sebagai Account Officer (AO), sedangkan keputusan akhir ada pada Pemimpin Cabang dan setelah diputus / disetujui oleh Pemimpin Cabang tanggung jawab pencairan kredit ada pada Koordinator ADK;
“Menimbang, bahwa mengenai keberatan pertama berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas dinyatakan bahwa kerugian tidak harus sudah terjadi melainkan cukup berpotensi menimbulkan kerugian sudah memenuhi unsur pasal yang didakwakan dan kerugian yang diderita oleh BRI adalah merupakan kerugian keuangan negara, sehingga alasan keberatan tersebut dinyatakan tidak dapat diterima;
“Menimbang, bahwa mengenai keberatan nomor 2, berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas terbukti bahwa tindakan Terdakwa telah melanggar atau bertentangan dengan ketentuan internal BRI berupa Surat Edaran Kantor Pusat BRI NOSE : S.41-DIR/ADK/12/2006 tanggal 20 Desember 2006, Surat Keputusan Direksi BRI Nokep : S.26-DIR/ADK/06/2006 tanggal 16 Juni 2006 dan Surat Keputusan Direksi BRI Nokep : S.2-DIR/ADK/02/2008 tanggal 21 Februari 2008 maupun ketentuan eksternal BRI, yaitu Peraturan Menteri Pertanian No. 33/Permentan/Ot.140/7/2006 tanggal 26 Juli 2006, Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 27/162/KEP/DIR tanggal 31 Maret 1995 dan UU Pokok Perbankan Pasal 29;
“Menimbang, bahwa mengenai keberatan Terdakwa nomor 3 yang menyatakan bahwa saksi petani yang dihadirkan hanya 2 (dua) orang tidak bisa mewakili dan digeneralisir, Majelis Hakim berpendapat bahwa karena keterangan kedua saksi tersebut bersesuaian dan diperkuat oleh keterangan saksi yang lain, antara lain saksi Budiman, SH, saksi Camat BTS Ulu (Sdr. Nawawi, SH, MH), saksi Ruli Ade Mulya, S.Ip, maka keterangan kedua saksi dari unsur petani dapat dinyatakan cukup membuktikan perbuatan Terdakwa;
“Menimbang, bahwa terhadap keberatan Terdakwa nomor 4 yang menyatakan bahwa Terdakwa tidak memiliki kewenangan untuk memutus dan mencairkan, Majelis Hakim berpendapat bahwa pemberian kredit adalah merupakan proses yang melibatkan berbagai pihak, antara lain Bagian Administrasi Kredit yang bertugas melakukan verifikasi awal tentang kelengkapan berkas permohonan kredit dan proses pencairan kredit setelah permohonan kreditnya disetujui, kemudian Account Officer sebagai petugas pemrakarsa kredit yang bertugas antara lain melakukan analisis kredit dan penilaian kelayakan suatu permohonan kredit, kemudian Pemimpin Cabang sebagai pejabat yang berwenang memutus kredit dan juga Teller yang melaksanakan pembayaran atas pencairan kreditnya;
“Menimbang, bahwa dalam kedudukannya sebagai petugas pemrakarsa kredit, Terdakwa memiliki kewenangan untuk meneruskan atau menolak permohonan kredit yang dinilai tidak layak, sehingga Terdakwa juga memiliki peran apakah kredit yang diberikan tersebut telah sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam pemberian kredit atau tidak dan bahkan suatu fasilitas kredit akan menjadi lancar atau tidak tergantung dari ketelitian dan kejelian Terdakwa dalam melakukan analisis atau penilaian terhadap permohonan kredit yang kemudian direkomendasikan untuk disetujui atau ditolak oleh Terdakwa untuk memperoleh keputusan dari pejabat pemutus kredit (i.c. Pemimpin Cabang), dengan demikian maka alasan dan keberatan Terdakwa tidak dapat dipertimbangkan;
“Menimbang, bahwa terhadap keberatan Terdakwa nomor 5 yang menyatakan bahwa dalam pemberian fasilitas kredit revitalisasi perkebunan ini ada peran aktif dari Pemerintah Daerah i.c. Dinas Perkebunan mulai dari penentuan calon petani dan calon lokasi, penyiapan berkas-berkas persyaratan perkreditan dan lain-lain, Majelis Hakim berpendapat bahwa meskipun ada peran dari Pemda, namun keputusan apakah BRI dapat menyetujui permohonan kredit atau tidak ada pada pihak BRI, sehingga alasan inipun tidak dapat diterima;
“Menimbang, bahwa terhadap keberatan Terdakwa nomor 6 yang menyatakan bahwa inisiatif dan seleksi awal sudah dilakukan oleh Pemda i.c. Dinas Perkebunan tidak berarti bahwa pihak BRI tidak perlu melakukan penelitian dan penilaian untuk menetapkan layak tidaknya suatu permohonan kredit;
“Menimbang, bahwa terhadap keberatan Terdakwa nomor 7 yang menyatakan persetujuan dan pencairan kredit dilaksanakan setelah ada sertifikat tanah dan dilakukan pengikatan hak tanggungan memang hal tersebut sudah benar dan sesuai dengan sikap kehati-hatian yang diperintahkan oleh Bank Indonesia, namun sertifikat tanah tersebut dapat menimbulkan persoalan hukum di kemudian hari karena berada dalam kawasan hutan produksi, sehingga berpotensi menimbulkan kerugian bagi BRI;
“Menimbang, bahwa keberatan nomor 8 mirip dengan keberatan nomor 4 mengenai kewenangan memutus kredit, sehingga terhadap keberatan ini tidak perlu ditanggapi lagi;
“Menimbang, bahwa Penasehat Hukum Terdakwa dalam pembelaannya yang disampaikan secara tertulis selengkapnya seperti tersebut dalam pembelaannya tertanggal ... yang disampaikan dalam persidangan tanggal ... yang pada pokoknya menyatakan sebagai berikut:
1. Bahwa perkara ini merupakan perkara perdata;
2. Bahwa kredit yang diberikan kepada 118 orang petani masih dalam tenggang waktu (grace period) dan belum diwajibkan untuk dilunasi, sehingga belum ada kerugian di pihak BRI;
“Menimbang, bahwa mengenai keberatan Penasehat Hukum Terdakwa nomor 1 yang menyatakan bahwa perkara ini merupakan perkara perdata, Majelis Hakim berpendapat bahwa perjanjian kredit memang merupakan perkara perdata, namun bukan berarti bahwa dalam perjanjian kredit tersebut tidak terdapat unsur pidana, seperti pemalsuan atau rekayasa dokumen yang digunakan dalam proses permohonan kredit, maka perkara ini menjadi perkara pidana;
“Menimbang, bahwa terhadap keberatan Penasehat Hukum Terdakwa nomor 2 yang menyatakan bahwa belum ada kerugian di pihak BRI karena fasilitas kreditnya masih dalam masa tenggang (grace period), menurut Majelis Hakim unsur pasal yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum adalah ‘dapat’ merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, artinya kerugian tersebut tidak harus terjadi lebih dahulu, melainkan cukup apabila berpotensi menimbulkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara;
“Menimbang, bahwa perihal apakah Terdakwa dapat dibebankan untuk membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud di dalam ketentuan Pasal 18 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999, Majelis berpendapat sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa di dalam ketentuan Pasal 17 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan bahwa ‘selain dapat dijatuhi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai Pasal 14, terdakwa dapat dijatuhi pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18’;
“Menimbang, bahwa Pasal 18 ayat (1) huruf b UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menyebutkan bahwa ‘pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.’;
“Menimbang, bahwa dari Pasal 18 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999, Majelis berpendapat bahwa penjatuhan hukuman tambahan berupa uang pengganti hanya dapat dijatuhkan apabila Terdakwa telah memperoleh dan menikmati uang dari hasil tindak pidana tersebut dan besarnya sebanyak-banyaknya adalah sama dengan harta benda yang diperolehnya dari tindak pidana korupsi tersebut dan bukan sebesar kerugian negara yang ditimbulkannya;
“Menimbang, bahwa perihal uang pengganti tersebut Majelis Hakim berpendapat walaupun di persidangan Terdakwa terbukti telah merugikan keuangan negara sebesar Rp 3.681.030.800,-, namun Terdakwa tidak terbukti telah memperoleh atau menikmati uang hasil tindak pidana tersebut, maka Majelis Hakim berpendapat bahwa Terdakwa tidak dapat dibebani uang pengganti;
M E N G A D I L I :
1. Menyatakan bahwa Terdakwa NGADINO Bin YUSUF terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana KORUPSI yang dilakukan secara bersama-sama;
2. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa dengan pidana penjara selama 4 (empat) tahun dan 6 (enam) bulan dandenda sebesar Rp 200.000.000,- (dua ratusjuta rupiah), dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 6 (enam) bulan;
3. Menetapkan bahwa lamanya Terdakwa berada dalam tahanan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
4. Memerintahkan agar Terdakwa tetap berada dalam tahanan.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.