Mahkamah Agung Belanda (Hoge Raad) Berkiblat Common Law, Bukan Lagi Civil Law

ARTIKEL HUKUM
KONSISTENSI ANTAR PUTUSAN SEBAGAI PILAR PEMBANGUNAN HUKUM BERKEADILAN, KEPASTIAN HUKUM SEBAGAI PANGLIMA
Banyak Sarjana Hukum Indonesia yang dengan demikian yakinnya menyebutkan bahwa Indonesia memang sudah kodratnya menganur sistem keluarga hukum Eropa Kontinental ala Civil Law, berdasarkan asas konkordansi yang diadopsi dari hukum Kolonial Hindia Belanda. Pendapat demikian betul adanya, bila konteksnya ialah 200 tahun yang lampau. Namun sama sekali tidak relevan bila paradigma demikian masih dipertahankan hingga saat kini—alias mental terjajah masih kental dalam benak para juris maupun para kaum intelek hukum di Tanah Air.
Bandul pergerakan perkembangan hukum di Negeri Belanda terus bergerak dan me-modern-kan diri, sebagai tanggapan responsif para juris di Belanda terhadap tuntutan zaman yang membutuhkan sebentuk kepastian hukum yang “betul-betul serba pasti”, sementara praktik hukum dan peradilan di Indonesia tetap saja stagnan (serba tidak pasti), tidak berubah dari paradigma hukum sejak 200 tahun lampau, bahkan masih menggunakan berbagai produk legislasi warisan Kolonial Hindia Belanda.
Kini, Hoge Raad telah resmi menyatakan merdeka dan berdikari dalam sistem hukum mereka sendiri, tidak lagi berkiblat pada sistem keluarga hukum Perancis yang identik dengan Code Napoleon yang menjadi pioner paling terkemuka dalam Civil Law Legal System. Alhasil, praktik Hoge Raad dalam memeriksa dan memutus suatu perkara, lebih condong menerapkan dan mengadopsi sistem keluarga hukum Common Law sebagaimana dipopulerkan oleh Negara-Negara Anglo Saxon.
Para Hakim Agung di Belanda kini mulai menyadari sepenuhnya dan seutuhnya, bahwa tidaklah mungkin tercipta keadilan tanpa adanya kepastian hukum, dimana kepastian hukum hanya dapat dibentuk lewat konsistensi antar putusan dengan karakter serupa (disparitas antar putusan merupakan indikator cerminan adanya kolusi hakim saat memutus), dengan kata lain adanya pengakuan terhadap daya ikat “preseden” putusan hakim sebelumnya atas perkara serupa yang dahulu pernah diperiksa dan diputus. The binding force of precedent!
Ketika telah tercipta kepastian hukum, maka terdapat sebentuk kaedah norma yang dapat dijadikan pegangan solid bagi masyarakat pencari keadilan, dimana peran dan kekuasaan hakim dibatasi oleh keberlakuan kaedah preseden, sehingga tertutup sudah ruang bermain bagi para spekulan sekaligus menutup ruang godaan bermain kolusi.
Dampak langsungnya, hukum menjadi demikian predictable, dan itulah esensi yang paling utama dari kepastian hukum yang hanya dapat ditawarkan oleh sistem hukum Common Law. Jaminan yang telah terbukti efektif itulah yang kemudian membuat Hoge Raad “hijrah”, dari sebelumnya menganut budaya sistem hukum Civil Law menjadi Common Law Legal System yang sangat tersistematis dan canggih.
Inilah yang disebutkan oleh Ketua Hoge Raad Mahkamah Agung Belanda, dengan pernyataannya yang membuat masyarakat “pencari keadilan” di Indonesia patut merasa “berkecil hati”, sebagai berikut: (dikutip dari https://www.hukum online.com/berita/baca/lt5c70d15888e4e/101-tantangan-peradilan-di-mata-ipresident-hoge-raad-i-belanda, diakses tanggal 24 Februari 2019, dengan judul “101 Tantangan Peradilan di Mata President Hoge Raad Belanda. Mewujudkan peradilan yang baik harus dimulai dari membangun Mahkamah Agung yang baik. Terutama dalam kualitas putusan yang konsisten”)
President Hoge Raad M.W.C. (Maarten) Feteris. Selain menjabat hakim agung, Feteris adalah ahli hukum pajak dengan posisi Guru Besar di Erasmus School of Law, Erasmus University Rotterdam. Berdasarkan catatan dirinya pada laman akademik Erasmus School of Law, Feteris cukup produktif menulis sepanjang karirnya dengan berbagai karya monograf, buku, hingga ratusan  anotasi putusan.
Menyambut kembali kedatangan Feteris yang akan membuka diskusi hukum pekan depan dengan resital piano olehnya di Pusat Kebudayaan Belanda Erasmus Huis, berikut petikan dialog...
Ada sejumlah perkembangan besar sebagai hasil kerja sama ini. Penerapan sistem kamar di Mahkamah Agung (RI) telah berjalan. Sebelumnya, semua perkara ditangani oleh seluruh hakim agung tanpa pemilahan dan sekarang telah ada pemisahan kamar perdata, pidana, dll. Saya pikir ini sangat penting bahwa telah ada kesadaran yang lebih baik tentang tugas utama Mahkamah Agung untuk menjadi rujukan otoritatif di masyarakat.
Hal yang berkaitan langsung dengan kesadaran ini adalah pentingnya konsistensi putusan Mahkamah Agung. Itu yang harus lebih dulu diwujudkan jika Mahkamah Agung ingin menjadi contoh bagi pengadilan di bawahnya. Apabila putusan Mahkamah Agung tidak konsisten, pengadilan yang lebih rendah tidak memiliki contoh untuk diikuti.
Hanya saja konsistensi putusan Mahkamah Agung menjadi yang paling penting. Saat publik melihat konsistensi di puncak peradilan, kepercayaan mereka akan meningkat. Dibutuhkan pusat data yang baik untuk menjaga konsistensi. Komunikasi publik yang baik juga dibutuhkan.
Lalu ketika pengadilan di bawah Mahkamah Agung mengikuti konsistensi putusan Mahkamah Agung, akan terwujud kepastian hukum di masyarakat. Itu semua membutuhkan pola pikir para hakim bahwa independensi hakim bukanlah soal independensi mereka secara personal. Mereka tidak harus selalu mengikuti kecenderungan keyakinan sendiri. Mereka harus menyadari pentingnya independensi pengadilan secara kolektif dalam kesatuan institusi.
Penting bagi pengadilan untuk bersikap konsisten secara menyeluruh sebagai satu institusi. Berdasarkan alasan itu, menjadi sangat penting agar perkara-perkara jangan diputus oleh majelis hakim yang tidak saling terhubung untuk suatu bidang perkara sejenis. Para hakim butuh saling mengetahui cara berpikir satu sama lain dan bagaimana hasil putusan untuk perkara sejenis. Jauh lebih penting lagi agar berbagai perkara didiskusikan oleh para hakim di tiap kamar untuk menghasilkan pijakan bersama dalam memutusnya.
Saat para hakim berhasil yakin pada satu pandangan bersama dalam kamar, akan menjadi lebih mudah untuk selalu menjadikannya rujukan. Ini cara kami mencegah sikap tidak konsisten dalam memilih pandangan hukum untuk memutus perkara. Kami tidak ingin misalnya di bulan depan atau tahun depan akan ada hakim yang mempertimbangkan pandangan lain. Ada banyak pilihan metode, tapi ini salah satu yang efektif.
Apabila Mahkamah Agung tidak konsisten, jangan pernah berharap pengadilan di bawahnya bisa konsisten karena mereka tidak tahu apa yang harus diikuti. Sebaliknya, konsistensi putusan Mahkamah Agung akan membuatnya menjadi penting untuk diikuti pengadilan di bawahnya.
Baik pengadilan di Indonesia maupun Belanda memang tidak mempunyai kewajiban mengikuti preseden seperti sistem hukum di negara-negara Anglo Saxon / Common Law. Hanya saja, pada praktik di Belanda agak mirip dengan di sistem Anglo SaxonPengadilan yang lebih rendah merasa bisa berpegang pada konsistensi penafsiran hukum di Mahkamah Agung. Sehingga jika mereka tidak mengikuti putusan untuk perkara serupa yang sudah ada, para pihak tentu akan mengajukan upaya hukum ke Mahkamah Agung. Tentu saja Mahkamah Agung pun bisa diperkirakan akan membatalkan putusan pengadilan di bawahnya itu. Oleh karena itu tidak ada gunanya bagi pengadilan yang lebih rendah untuk membuat putusan berbeda.
Seperti yang sudah saya sebutkan, jika pengadilan tingkat pertama dan banding tidak mengikuti penafsiran Mahkamah Agung dalam membuat putusan, lalu para pihak berperkara menyadari konsistensi Mahkamah Agung, mereka akan melihat peluang besar bahwa putusan bisa dibatalkan jika diajukan ke Mahkamah Agung [Note SHIETRA & PARTNERS: prediktabilitas dalam hukum]Begitulah praktik di Belanda dan banyak negara dengan Mahkamah Agung yang konsisten dalam memeriksa penerapan hukum.
Di negara kami, ketika Mahkamah Agung memutus dengan menggunakan suatu penafsiran terhadap undang-undang, semua orang tahu bahwa Mahkamah Agung akan terus menggunakannya pada perkara lainnyaSehingga tidak ada pembedaan antara penafsiran biasa dengan penafsiran yang menjadi rujukan dengan sebutan yurisprudensi. Begitu Mahkamah Agung memilih penafsiran, putusannya bisa dikatakan adalah yurisprudensi Mahkamah Agung. Kami tidak memiliki tim khusus yang memilah penafsiran mana yang bisa dikelompokkan sebagai yurisprudensi atau tidak.
Kami juga mengacu pada putusan sebelumnya yang telah kami buatTentu saja kami melakukannya sebagai upaya untuk menjaga konsistensi putusan. Kami juga membaca berbagai literatur hukum. Berbagai literatur itu menjadi sumber inspirasi yang membantu kami. Kami tidak bangun di pagi hari dan berilusi bahwa kami tahu segalanya. Kami pun perlu terus belajar. Itu sebabnya kami terus membaca sebanyak mungkin literatur hukum yang membantu terus berkembang.
Oleh karena itu, tidak lazim bagi para pihak di Belanda untuk melibatkan pendapat ahli hukum atau profesor hukum pada proses persidangan. Terkadang mereka melakukannya tapi bagi kami tidak ada maknanya. Tentu kami membaca pendapatnya, mungkin saja kami bisa diyakinkan oleh argumentasinya. Hanya saja Anda tidak bisa memastikan bahwa pendapat para profesor hukum akan lebih meyakinkan kami ketimbang pendapat lainnya dari sekadar yang bergelar doktor hukum atau bahkan belum doktor. Gelar-gelar itu tidak relevan bagi kami.
Saya bukan ahli mengenai bagaimana sistem hukum di Indonesia dijalankan, hanya saja saya melihat ada risiko jika para pihak menghadirkan pendapat ahli hukum. Mereka hanya akan membawa pendapat ahli hukum yang mendukung keinginannya, tentu saja hakim harus sangat kritis atas pendapat-pendapat itu.
Menurut saya juga sangat penting bagi praktik hukum untuk mengetahui pandangan yang diikuti para hakim agung dalam rangka kepastian hukum. Pembangunan hukum yang dilakukan oleh Mahkamah Agung melalui putusan-putusan yang dibuatnya hanya akan terjadi jika mereka konsisten. Apabila selalu terjadi perbedaan setiap bulannya misalnya, putusan-putusan itu tidak akan ikut membangun hukum.
Penulis memiliki pandangan serupa, jauh sebelumnya perihal fungsi konsistensi antar putusan sebagai faktor elementer pembentukan hukum nasional, namun penulis tidak sependapat perihal asas hukum klasik “ius curia novit” (hakim dianggap selalu tahu hukumnya). Dalam praktiknya, tidak ada yang betul-betul dapat disebut “ius curia novit”.
Pandangan atau keterangan ahli hukum, meski para hakim juga bergelar Sarjana Hukum atau bahkan Doktor dibidang Hukum, tidak menutup fakta bahwa norma hukum telah demikian terdiferensiasi, menjadi multi-faset yang meluas dan jamak, sehingga saat kini setiap Sarjana Hukum dipaksa (alias terpaksa) untuk menjadi seorang sarjana hukum spesialis (terspesialisasi) terhadap suatu atau beberapa bidang tema hukum tertentu.
Norma hukum saat kini telah menjelma menyerupai “hutam rimba belantara”. Tidak ada Sarjana Hukum yang tahu betul substansi norma seluruh bidang kehidupan manusia yang diatur oleh norma hukum. Sebagai contoh ialah kompetensi penulis pribadi, akan menjadi hakim yang tidak mungkin bersikap adil oleh memutus suatu perkara terkait pajak maupun pasar modal, oleh sebab penulis tidak menguasai kedua hukum hukum tersebut, akibat keterbatasan waktu untuk menguasainya.
Itulah sebabnya, Mahkamah Agung menerapkan sistem kamar, agar hakim spesialiasi perkara perdata tidak dimungkinkan memutus perkara pidana yang belum tentu dikuasainya, dan sebaliknya. Berasumsi bahwa “hakim selalu dianggap tahu hukumnya”, hanya relevan bila diterapkan 200 tahun lampau, saat aturan norma hukum dan dinamika masyarakat masih demikian sederhana, sementara di era modern dan digital ini, semua bidang kehidupan manusia diatur oleh hukum yang sangat jamak dan menggurita.
Apakah Anda yakin, sembilan orang Hakim Konstitusi RI mampu menghadirkan putusan yang adil dan benar, sementara belum tentu diri mereka menguasai betul-betul bidang hukum yang diajukan uji materiil? Tidak tertutup kemungkinan kesembilan hakim tersebut lebih tidak kompeten, ketimbang pihak pemohon judicial review yang berkecimpung dibidangnya secara spesifik (lihat kasus Uji Materiil Undang-Undang importasi hewan ternak yang diajukan oleh kalangan dokter hewan).
Tidak akan pernah ada Hakim Konstitusi yang betul-betul adil, adalah dusta bila ada Hakim Konstitusi yang mengklaim dirinya selama ini sebagai hakim yang adil saat memeriksa dan memutus. Mencalonkan diri sebagai Hakim Konstitusi, sama artinya bersiap-siap untuk melahirkan putusan yang mencederai keadilan.
Terlepas dari itu, putusan-putusan yang saling konsisten, juga mengakibatkan para spekulan tidak lagi berspekulasi dengan mengajukan upaya hukum, sehingga beban perkara yang masuk ke lembaga peradilan akan menurun secara sendirinya karena tersaring oleh konsistensi antar putusan. Para spekulan pun akan surut secara sendirinya, tidak lolos menghadapi “seleksi alam”, karena putusan pengadilan telah demikian saling konsisten.
Ketika Mahkamah Agung dibebani oleh tumpukan berkas gugatan “sampah”, maka tentunya sumber daya waktu hakim yang terbatas, mengakibatkan kualitas amar putusan menjadi tidak lagi dapat diandalkan karena mustahil putusan menjadi bersifat optimal dalam proses telaahnya. Putusan yang tidak optimal, adalah putusan yang tidak mungkin memenuhi kaedah / norma keadilan.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih PayahHak CiptaHak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.