Kesepakatan Bukanlah Penentu Mutlak dalam Jual-Beli Tanah

LEGAL OPINION
Question: Bukankah dengan sudah adanya kata sepakat untuk jual beli tanah, maka artinya si penjual harus dan bisa dituntut di pengadilan jika tidak mau menyerahkan tanah yang dijualnya? Hukum perdata bilang bahwa jual-beli sudah terjadi bila ada kesepakatan.
Brief Answer: Syarat sah perjanjian (vide Pasal 1320 KUHPerdata) tidak menjadikan “kesepakatan” sebagai faktor tunggal penentu sah atau tidaknya perikatan. Terdapat unsur objektif berupa “causa yang sahih” yang juga menjadi prasyarat mutlak untuk sahihnya suatu perjanjian. Untuk itu perlu juga diperhatikan syarat-syarat khusus dalam konteks hukum pertanahan agar suatu perikatan terkait objek hak atas tanah dapat dieksekusi keberlakuannya di depan pengadilan, semisal wajib memenuhi asas “terang dan tunai”. Begitupula faktor “cakap hukum”, dimana orang asing tidaklah cakap secara hukum terkait “hak milik” atas tanah.
PEMBAHASAN:
Terdapat sebuah preseden terkait spesialisasi perikatan dalam konteks jual-beli hak atas tanah, sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS rujuk putusan Mahkamah Agung RI sengketa tanah register Nomor 523 PK/Pdt/2018 tanggal 10 Agustus 2018, perkara antara:
- CYNTHIA GWENDOLYN SONNEVILLE, sebagai Pemohon Peninjauan Kembali; melawan
1. YANG SEUNG SIK; 2. ACANG SURYANA, sebagai Para Termohon Peninjauan Kembali; dan
- KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN BOGOR, selaku Turut Termohon Peninjauan Kembali.
Perikatan dalam konteks pertanahan memiliki karakter khusus yang membedakan dari perikatan kontraktual perdata pada umumnya, sehingga peralihan hak atas tanah karena jual-beli dalam hukum pertanahan, baik tanah adat maupun tanah yang telah terdaftar dalam sertifikat hak atas tanah, tidak semata tunduk pada kedua ketentuan umum perdata berikut:
- Pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata): “Jual-beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.”
- Pasal 1458 KUHPerdata: “Jual-beli itu dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelahnya orang-orang ini mencapai sepakat tentang kebendaan tersebut dan harganya, meskipun kebendaan itu belum diserahkan, maupun harganya belum dibayar.”
Terhadap gugat-menggugat antar Warga Negara Asing (WNA) terhadap objek tanah di Indonesia ini, dikabulkan sebagian oleh Pengadilan Negeri Cibinong lewat putusannya Nomor 220/Pdt.G/2014/PN.Cbi., tanggal 29 Oktober 2015, dengan amar sebagai berikut:
MENGADILI :
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat sebagian;
2. Menyatakan dan menetapkan Penggugat sebagai pemilik sah dan satusatunya bidang tanah bekas milik adat atau tanah girik seluas ... yang terletak dan setempat dikenal dengan ... , dengan batas-batas sebagai berikut: ...;
3. Menyatakan cacat hukum dan tidak mempunyai kekuatan hukum Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 4691 / Tlajung Udik seluas 2.760 m2 atas nama Tergugat I sepanjang menyangkut bidang tanah milik Penggugat sebagaimana dictum ke-II di atas;
4. Menyatakan Tergugat I telah melakukan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) menduduki dan atau menguasai sebagian tanah milik Penggugat (sebagaimana diktum ke-II di atas) yaitu seluas ± 2.760 m2 terletak dan setempat dikenal dengan ... , dengan batasbatas sebagai berikut: ...;
5. Menghukum dan memerintahkan Tergugat I atau siapapun yang mendapatkan hak dari padanya untuk menyerahkan kembali kepada Penggugat secara langsung dan sekaligus bidang tanah objek sengketa seluas ± 2.760 m2 terletak dan setempat dikenal dengan ... , dengan batas-batas sebagai berikut: ...;
6. Menghukum dan memerintahkan Tergugat I membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp1.000.000,00 per-harinya atas keterlambatan melaksanakan isi putusan;
7. Menghukum Tergugat I untuk membayar semua ongkos perkara yang timbul dalam perkara ini;
8. Memerintahkan Turut Tergugat agar tunduk dan patuh atas putusan ini;
9. Menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya.”
Dalam tingkat banding, putusan di atas telah dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Bandung lewat putusannya Nomor 117/PDT/2016/PT.BDG., tanggal 7 April 2016.
Dalam tingkat kasasi, yang oleh Mahkamah Agung putusan di atas dianulir lewat putusan Nomor 2800 K/Pdt/2016 tanggal 6 Desember 2016, dengan amar sebagai berikut:
- Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi Yang Seung Sik tersebut;
- Membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor 117/PDT/2016/PT.BDG., tanggal 7 April 2016 yang menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Cibinong Nomor 220/Pdt.G/2014/PN Cbi., tanggal 29 Oktober 2015;
Mengadili Sendiri:
- Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya.”
Pihak Penggugat mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali, dimana terhadapnya Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan penting untuk dicermati, sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan peninjauan kembali tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan-alasan permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah membaca dan meneliti memori peninjauan kembali tanggal 11 Desember 2017 dan kontra memori peninjauan kembali tanggal 28 Desember 2017 dihubungkan dengan putusan Judex Juris, tidak ditemukan suatu kekhilafan Hakim dan atau suatu kekeliruan yang nyata dengan pertimbangan sebagai berikut:
“Bahwa sahnya suatu perjanjian jual-beli atas objek sengketa diatur oleh Undang Undang Pokok Agraria dan peraturan pelaksanaan lainnya bukan didasarkan pada Pasal 1458 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, maka permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali CYNTHIA GWENDOLYN SONNEVILLE, tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali CYNTHIA GWENDOLYN SONNEVILLE tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.