LEGAL OPINION
Question: Kita sudah ketahui bersama, rekruitmen employee baru itu menjadi cost tersendiri bagi perusahaan, maka
perusahaan yang sadar atas biaya rekruitmen terutama biaya sosial (social cost) pegawai baru yang masih
butuh waktu adaptasi itu harus ditekan seminim mungkin dengan tidak membiarkan
tingkat in—out karyawan begitu tinggi
dalam satu tahunnya, karena berpotensi mengganggu produktivitas kantor secara
keseluruhan.
Tapi jika ada satu atau dua pegawai yang tetap
saja membuat pelanggaran terhadap peraturan perusahaan, sehingga perusahaan
terpaksa juga untuk ambil kebijakan pecat mereka, maka yang sebenarnya akan
dimaknai oleh hukum dan praktik pengadilan sebagai pihak yang paling berniat
untuk memutus hubungan kerja (PHK) ini, apakah tetap dianggap perusahaan yang
mem-PHK?
Brief Answer: Di mata hukum, tidaklah terlampau penting siapa
yang dinilai sebagai inisiator untuk memutus suatu hubungan kerja. Hak atas
kompensasi pesangon dijadikan oleh hukum sebagai sebentuk “jaring pengaman” (safety nett) bagi masa depan seorang
Pekerja / Buruh sesuai masa kerja mereka selama mengabdi pada suatu Pemberi
Kerja.
Guna menghindari penyalahgunaan posisi dominan
kalangan pelaku usaha / Pemberi Kerja, yang tentunya lebih memiliki kekuatan
daya tawar serta kekuasaan politis atas tenaga kerjanya, maka diaturlah “jaring
pengaman” demikian, agar moral hazard
dapat terhindari.
Yang semestinya menjadi pertanyaan lebih relevan
ialah: apa yang menjadi konsekuensi yuridis mem-PHK tanpa adanya kesalahan dari
pihak Pekerja, dan apa juga konsekuensi yuridis mem-PHK akibat pelanggaran yang
dilakukan oleh seorang Pekerja, sehingga isu “siapa yang berniat untuk
terjadinya PHK”, tidak lagi memiliki relevansinya.
Secara singkat, PHK tanpa dapat dibuktikan adanya
pelanggaran oleh pihak Pekerja, melahirkan hak berupa kompensasi pesangon 2
kali ketentuan. Sementara PHK yang terjadi akibat didahului pelanggaran oleh
sang Pekerja, melahirkan hak berupa kompensasi pesangon 1 kali ketentuan
normal. Pilihannya ialah PHK dengan 1 atau 2 kali ketentuan pesangon normal,
pihak Pengusaha itu sendiri yang menentukan “momen”-nya.
PEMBAHASAN:
Terdapat sebuah ilustrasi
konkret yang cukup menjadi cerminan, sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS
rujuk putusan Mahkamah Agung RI sengketa hubungan industrial register Nomor 61
PK/Pdt.Sus-PHI/2017 tanggal 11 September 2017, perkara antara:
- PT. PICARIN JAYA ABADI, sebagai
Pemohon Peninjauan Kembali, semula selaku Tergugat; melawan
- TATANG SUPARDI, selaku Termohon
Peninjauan Kembali dahulu Penggugat.
Penggugat merupakan karyawan tetap Tergugat, yang mulai bergabung masuk
kerja terhitung sejak tahun 2000, posisi terakhir di bagian staff HRD & GA.
Sejak diterima bekerja sebagai karyawan, Penggugat melakukan segala
tanggung-jawabnya dengan baik dan menunjukkan prestasi kinerja yang baik,
terbukti dari jabatan Penggugat terakhir yaitu sebagai Staff Personalia, karena
jabatan Penggugat pada waktu melamar kerja adalah sebagai Office Boy.
Melihat kinerja yang baik dari Penggugat, akhirnya dipromosikan menjadi
Intermailing dan terakhir diangkat sebagai Staff Personalia. Akar permasalahan
suasana menjadi tidak kondusif, ialah semenjak pihak pimpinan HRD & GA yang
dinilai bertindak sewenang-wenang, seperti mengatakan bahwa Penggugat tidak
bisa bekerja dan Penggugat dianggap sebagai “virus” perusahaan, bahkan dituduh
sebagai mata-mata perusahaan lain karena perusahaan Tergugat tidak pernah mendapat
pesanan maupun tender. Perusahaan Tergugat selalu kalah bersaing menghadapi
kompetisi, yang pada gilirannya “dikambing-hitamkan”.
Penggugat menguraikan bagaimana praktik perusahaan Tergugat telah
mengekspolitasi Penggugat, berlaku tidak adil, justru cenderung orientasinya merugikan
Pekerja, sehingga Penggugat menyampaikan kepada Tergugat bahwa apabila
perusahaan sudah tidak bersedia mempekerjakan Penggugat, Penggugat siap di-PHK sepanjang
mengikuti norma Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Sampai pada gilirannya per tanggal 13 Februari 2014, pihak manajemen
memanggil Penggugat dengan paksaan agar Penggugat mengundurkan diri dari
perusahaan dengan kompensasi hanya senilai Rp2.200.000,00. Mengundurkan diri
yang dipaksakan demikian, adalah bentuk nyata adanya tekanan / intimidasi dari
pengusaha, yang Penggugat maknai sebagai sebentuk “PHK secara sepihak”.
Terhadapnya, Penggugat mengajukan permohonan mediasi kepada Sudinaker
Jakarta Utara untuk di mediasi atas perselisihan terhadap pihak Tergugat. Selanjutnya
pihak Mediator menerbitkan anjuran tertulis tertanggal 06 Juni 2014, dengan
substansi sebagai berikut:
“Menganjuran:
I. Agar Perusahaan PT. Picarinjaya Abadi memanggil pekerja Sdr. Tatang Supardi
untuk bekerja kembali seperti biasa;
II. Para pihak agar memberikan jawaban secara tertulis selambat-lambatnya
10 (sepuluh) hari setelah diterimanya Anjuran ini;
III. Apabila kedua belah pihak atau salah satu pihak menolak Anjuran, maka
salah satu pihak atau kedua belah pihak dapat melanjutkan penyelesaian
perselisihan hubungan kerja ini kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri Jakarta pusat sesuai Undang-Undang Nomor 02 Tahun 2004.”
Namun menurut pihak Penggugat, Mediator kurang jeli dan tidak cermat
memahami pokok perkara, sebab Mediator Dinas Tenaga Kerja tidak mencermati bahwa
Penggugat telah dipaksa untuk mengundurkan diri dan surat pemanggilan kembali masuk
kerja yang diterbitkan oleh Tergugat telah menyimpangi aturan hukum.
Anjuran semacam itu dinilai tidak menyelesaikan perselisihan PHK yang terjadi,
terbukti sampai gugatan diajukan pihak Tergugat tidak kunjung memanggil
Penggugat untuk bekerja kembali. Dengan demikian tidak lagi terhadap kondisi
harmonis dalam hubungan kerja, untuk itu Penggugat justru memohon agar Majelis
Hakim menyatakan agar hubungan kerja “PUTUS” dengan kategori “tanpa ada
kesalahan di pihak Pekerja”, dan untuk itu Penggugat menuntut kompensasi PHK
berupa pesangon sebesar dua kali ketentuan normal.
Terhadap gugatan sang Pekerja, Pengadilan Hubungan Industrial Jakarta
Pusat kemudian menjatuhkan putusan Nomor 22/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.JKT.PST.,
tanggal 13 April 2015, dengan amar sebagai berikut:
“MENGADILI :
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan Putus Hubungan Kerja antara Penggugat dengan Tergugat
terhitung sejak putusan ini dibacakan;
3. Menghukum Tergugat untuk membayar kompensasi kepada Penggugat berupa
Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja dan Uang Penggantian Hak yang
seluruhnya sebesar Rp42.262.500,00;
4. Memerintahkan Tergugat untuk membuatkan dan memberikan Surat
Keterangan Kerja atas nama Penggugat.”
Dalam tingkat kasasi, yang menjadi amar Putusan Mahkamah Agung Nomor 509 K/Pdt.Sus-PHI/2015
tanggal 28 Agustus 2015 sebagai berikut: “Menolak permohonan kasasi
dari Pemohon Kasasi: PT. Picarin Jaya Abadi tersebut.”—sehingga secara
tidak langsung putusan PHI dikuatkan statusnya.
Phak Pengusaha mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali, dengan pokok
keberatan bahwa pihak Penggugat itu sendiri yang berkeinginan untuk terjadinya
PHK, terbukti dari pernyataan Pengadilan Hubungan Industrial yang dalam pertimbangan
hukumnya menyatakan: “Menimbang, bahwa
berdasarkan bukti-bukti tersebut di atas, Majelis hakim berkesimpulan bahwa
Penggugatlah yang berkeinginan untuk mengakhiri hubungan kerja ini.”
Secara akrobatik, didalilkan bahwa dengan demikian bukanlah pihak
perusahaan yang mempunyai inisiatif untuk terjadinya PHK, melainkan Penggugat
itu sendiri, sementara pihak perusahaan tidak berkehendak untuk memberhentikan
atau mengakhiri hubungan kerja demikian, dan hanya ingin melakukan “pembinaan” saja—suatu
alasan “klise”.
Penggugat telah tidak masuk kerja sejak tanggal 10 sampai dengan 15 April
2014 tanpa keterangan yang sah, karena pada tanggal 10 April 2014 sejak Penggugat
memasukkan permohonan mediasi ke Dinas Tenaga Kerja, telah tidak lagi masuk bekerja
tanpa alasan yang jelas juga tanpa pemberitahuan kepada perusahaan.
Majelis hakim Pengadilan Hubungan Industrial justru lebih memilih untuk
mempertimbangkan adanya pemanggilan kembali masuk kerja yang tidak sah. Dengan
bahasa yang sangat diplomatis, pihak Pengusaha mendalilkan, bahwasannya tidak
ada keinginan manajemen untuk mem-PHK pihak Penggugat, sebagaimana diakui
sendiri oleh Majelis Hakim PHI dalam pertimbangan hukumnya: “Tidak ada keinginan Tergugat untuk mem-PHK
Penggugat karena kontribusinya masih dibutuhkan.”
Bila pihak Penggugat itu sendirilah yang ingin mengakhiri hubungan kerja,
karena itu mengapa pihak perusahaan yang dibebankan untuk membayar kompensasi pesangon?
Dengan lebih diplomatis lagi pihak Tergugat menyatakan bahwa mereka tidak
pernah berkeinginan untuk memutuskan hubungan kerja Penggugat, dan masih
bersedia menjalin hubungan kerja selama Penggugat dapat memperbaiki diri.
Dimana terhadapnya, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar
putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap
alasan-alasan Peninjauan Kembali tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan tersebut tidak
dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti dengan saksama alasan-alasan
peninjauan kembali tanggal 22 November 2016 dan jawaban alasan peninjauan
kembali tanggal 14 Februari 2017 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Juris
ternyata tidak ada kekhilafan Hakim atau keliruan yang nyata sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 67 huruf (f) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
2004 dan perubahan kedua dengan Undang Undang Nomor 3 Tahun 2009;
“Bahwa Pemutusan hubungan
kerja terhadap Penggugat sah karena Penggugat melakukan pelanggaran, maka
Penggugat sah berhak atas kompensasi sesuai ketentuan Pasal 161 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003;
“Menimbang, bahwa berdasarkan
pertimbangan di atas, Mahkamah Agung berpendapat permohonan pemeriksaan
peninjauan kembali yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali PT. PICARIN
JAYA ABADI, tidak beralasan, sehingga harus ditolak;
“M E N G A D I L I :
“Menolak permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali
: PT. PICARIN JAYA ABADI, tersebut.”
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.