PENJAHAT Kudu Tawakal kepada Allah yang PRO kepada PENDOSA, sementara Korban hanya Bisa “GIGIT JARI”

Kabar Gembira bagi PENJAHAT (PENDOSA) yang Dihapus Dosa-Dosanya oleh Allah, sama Artinya Kabar Buruk / Duka bagi Kalangan KORBAN

Tawakal, namun Disaat Bersamaan Muhammad Rasul Allah menyandang PEDANG (SENJATA TAJAM) UNTUK MEMBUNUH & MENGANCAM

Question: Istilah dalam ajaran islam, “tawakal” (berpasrah diri kepada Allah), mengapa disebutkan bahwa “tawakal” hanya ada dalam kamus para pendosa (penjahat)?

Brief Answer: Karena Allah lebih PRO terhadap kalangan PENJAHAT (PENDOSA PECANDU PENGHAPUSAN DOSA) maupun terhadap kalangan KORUPTOR DOSA, dengan menghapus dosa-dosa sang PENJAHAT. Alhasil, adalah percuma bagi kalangan korban ketika mengadu ataupun melaporkan kejahatan yang dialami olehnya kepada Allah. Sebagaimana biasanya, ajaran islam penuh “standar ganda” alias “bermuka dua”. Pada satu sisi atau satu waktu, berkoar-koar perihal “tawakal”, akan tetapi disaat bersamaan atau pada kesempatan lainnya, muhammad nabi junjungan para muslim memiliki sebilah pedang yang selalu ia bawa kemanapun ia pergi, alih-alih menjadikan Allah-nya sebagai pelindung—seolah-olah sesuatu dapat terjadi tanpa rencana, seizin, kehendak, maupun sepengetahuan Allah.

PEMBAHASAN:

Muhammad nabi junjungan para pemeluk agama islam, yang masih melekat dan mengandalkan perlindungan dari senjata tajam sejenis pedang untuk membunuh dan menumpahkan darah manusia sesamanya, bukanlah figur yang memberikan teladan perihal “tawakal”, sebagaimana khotbah Sang Buddha dalam “Aguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID IV”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, dengan kutipan sebagai berikut:

66 (2) Tujuh Matahari

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Vesālī di Hutan Ambapāli. Di sana Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu!”

“Yang Mulia!” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Para bhikkhu, fenomena-fenomena terkondisi adalah tidak kekal; fenomena-fenomena terkondisi adalah tidak stabil; fenomena-fenomena terkondisi adalah tidak dapat diandalkan. Cukuplah itu untuk menjadi kecewa pada segala fenomena terkondisi, cukuplah itu untuk menjadi bosan pada segala fenomena terkondisi, cukuplah itu untuk terbebaskan dari segala fenomena terkondisi.

“Para bhikkhu, Sineru, raja pegunungan, adalah 84.000 yojana panjangnya dan 84.000 yojana lebarnya; terbenam 84.000 yojana di dalam samudra raya dan menjulang 84.000 yojana di atas samudra raya.

[Kitab Komentar : Yojana adalah jarak antara tujuh sampai sembilan mil.]

(1) “Akan tiba waktunya, para bhikkhu, ketika hujan tidak turun selama bertahun-tahun, selama ratusan tahun, selama ribuan tahun, selama ratusan ribu tahun. Ketika hujan tidak turun, maka benih-benih kehidupan dan tumbuh-tumbuhan, tanaman obat-obatan, rerumputan, dan pepohonan besar di dalam hutan menjadi layu dan mengering dan menjadi tidak ada lagi. Begitu tidak kekalnya fenomena-fenomena terkondisi, begitu tidak stabilnya, begitu tidak dapat diandalkannya. Cukuplah itu untuk menjadi kecewa pada segala fenomena terkondisi, cukuplah itu untuk menjadi bosan pada segala fenomena terkondisi, cukuplah itu untuk terbebaskan dari segala fenomena terkondisi.

(2) “Akan tiba waktunya, setelah waktu yang lama, matahari ke dua muncul. Dengan munculnya matahari ke dua, maka sungai-sungai kecil dan danau-danau mengering dan menguap dan menjadi tidak ada [101] lagi. Begitu tidak kekalnya fenomena-fenomena terkondisi … Cukuplah itu untuk terbebaskan dari segala fenomena terkondisi.

(3) “Akan tiba waktunya, setelah waktu yang lama, matahari ke tiga muncul. Dengan munculnya matahari ke tiga, maka sungai-sungai besar – Gangga, Yamunā, Aciravatī, Sarabhū, dan Mahī - mengering dan menguap dan menjadi tidak ada lagi. Begitu tidak kekalnya fenomena-fenomena terkondisi … Cukuplah itu untuk terbebaskan dari segala fenomena terkondisi.

(4) “Akan tiba waktunya, setelah waktu yang lama, matahari ke empat muncul. Dengan munculnya matahari ke empat, maka danau-danau besar dari mana sungai-sungai besar itu berasal – Anotatta, Sīhapapāta, Rathakāra, Kaṇṇamuda, Kunāla, Chaddanta, dan Mandākinī - mengering dan menguap dan menjadi tidak ada lagi. Begitu tidak kekalnya fenomena-fenomena terkondisi … Cukuplah itu untuk terbebaskan dari segala fenomena terkondisi.

(5) “Akan tiba waktunya, setelah waktu yang lama, matahari ke lima muncul. Dengan munculnya matahari ke lima, maka air di samudra raya menyurut hingga seratus yojana, dua ratus yojana … tiga ratus yojana … tujuh ratus yojana. Air yang tersisa di samudra raya sedalam tinggi tujuh pohon palem, sedalam enam pohon palem … lima pohon palem … empat pohon palem … tiga pohon palem … dua pohon palem [102] … hanya satu pohon palem. Air yang tersisa di samudra raya sedalam tujuh depa … enam depa … lima depa … empat depa … tiga depa … dua depa … satu depa … setengah depa … setinggi pinggang … setinggi lutut … semata kaki. Bagaikan di musim gugur, ketika hujan turun dengan butiran-butiran besar, maka air menggenang di jejak kaki sapi di sana-sini, demikian pula air yang tersisa di samudra raya akan menggenang di sana sini [dalam kolam-kolam] yang berukuran sebesar jejak kaki sapi. Dengan munculnya matahari ke lima, maka air di samudra raya menyurut hingga sendi-sendi jari tangan. Begitu tidak kekalnya fenomena-fenomena terkondisi … Cukuplah itu untuk terbebaskan dari segala fenomena terkondisi.

(6) “Akan tiba waktunya, setelah waktu yang lama, matahari ke enam muncul. Dengan munculnya matahari ke enam, bumi ini dan Sineru, raja pegunungan, berasap, berpijar, dan menyala. Bagaikan api pengrajin tembikar, ketika dinyalakan, pertama-tama berasap, berpijar, dan menyala, demikian pula dengan munculnya matahari ke enam, bumi ini dan Sineru, raja pegunungan, berasap, berpijar, dan menyala. Begitu tidak kekalnya fenomena-fenomena terkondisi … Cukuplah itu untuk terbebaskan dari segala fenomena terkondisi.

(7) “Akan tiba waktunya, setelah waktu yang lama, matahari ke tujuh muncul. [103] Dengan munculnya matahari ke tujuh, bumi ini dan Sineru, raja pegunungan, meledak terbakar, menyala dengan terang, dan menjadi sebuah kumpulan api yang besar. Ketika bumi ini dan Sineru menyala dan terbakar, apinya tertiup angin, menjulang hingga ke alam brahmā. Ketika kehancuran sedang berlangsung dan dikuasai oleh kumpulan besar panas, maka gunung yang puncaknya setinggi seratus yojana menjadi hancur; gunung yang puncaknya dua ratus yojana … tiga ratus yojana … empat ratus yojana … lima ratus yojana menjadi hancur.

“Ketika bumi ini dan Sineru terbakar dan menyala, tidak ada abu atau jelaga yang terlihat. Seperti halnya, ketika ghee atau minyak terbakar dan menyala, tidak ada abu atau jelaga yang terlihat. Demikian pula ketika bumi ini dan Sineru terbakar dan menyala, tidak ada abu atau jelaga yang terlihat. Begitu tidak kekalnya fenomena-fenomena terkondisi, begitu tidak stabilnya, begitu tidak dapat diandalkannya. Cukuplah itu untuk menjadi kecewa pada segala fenomena terkondisi, cukuplah itu untuk menjadi bosan pada segala fenomena terkondisi, cukuplah itu untuk terbebaskan dari segala fenomena terkondisi.

“Para bhikkhu, siapakah kecuali mereka yang telah melihat kebenaran akan berpikir atau percaya: ‘Bumi ini dan Sineru, raja pegunungan, akan terbakar, hancur, dan menjadi tidak ada lagi’?

[Kitab Komentar : “Siapakah yang akan mempercayai ini, kecuali para siswa mulia, para pemasuk-arus yang telah melihat kebenaran?” Kebenaran, atau keadaan (pāda), yang dilihat oleh pemasuk-arus adalah nibbāna, lenyapnya penderitaan.

“Siapakah yang mampu mendiskusikan hal ini demi untuk membangkitkan keyakinan dalam hal ini, atau siapakah yang memiliki keyakinan dalam hal ini?” (ko tassa saddhāpanatthāya mantetu samattho, ko vā tassa saddhātā).

“Sekarang Aku beritahukan kepada kalian, Sineru, raja pegunungan, akan runtuh dan hancur. Siapakah yang dapat mempercayai hal ini, kecuali mereka yang telah melihat kebenaran? Sekarang Aku beritahukan kepada kalian, air di samudra raya akan mengering dan menguap. Siapakah yang dapat mempercayai hal ini, kecuali mereka yang telah melihat kebenaran? Sekarang Aku beritahukan kepada kalian, bumi ini akan terbakar seluruhnya dan hancur oleh api. Siapakah yang dapat mempercayai hal ini, kecuali mereka yang telah melihat kebenaran?”

“Di masa lampau, para bhikkhu, terdapat seorang guru bernama Sunetta, pendiri suatu sekte spiritual, seorang yang tanpa nafsu pada kenikmatan-kenikmatan indria. Guru Sunetta [104] memiliki ratusan murid yang kepada mereka ia mengajarkan Dhamma untuk berkumpul dengan alam brahmā. Ketika ia sedang mengajar, mereka yang sepenuhnya memahami ajarannya, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, terlahir kembali di alam tujuan yang baik, di alam brahmā. Tetapi mereka yang tidak sepenuhnya memahami ajarannya, beberapa di antaranya terlahir kembali dalam kumpulan para deva yang menguasai ciptaan para deva lain; beberapa di antaranya terlahir kembali dalam kumpulan para deva yang bersenang dalam penciptaan; beberapa di antaranya terlahir kembali dalam kumpulan para deva Tusita; beberapa di antaranya terlahir kembali dalam kumpulan para deva Yāma; beberapa di antaranya terlahir kembali dalam kumpulan para deva Tāvatisa; beberapa di antaranya terlahir kembali dalam kumpulan para deva [yang dipimpin] oleh empat raja dewa. Beberapa di antaranya terlahir kembali dalam kumpulan para khattiya makmur; beberapa di antaranya terlahir kembali dalam kumpulan para brahmana makmur; beberapa di antaranya terlahir kembali dalam kumpulan para perumah tangga makmur.

[Kitab Komentar : Dari sini dimulai enam alam surga indriawi, dari yang tertinggi hingga yang terendah.]

“Kemudian, para bhikkhu, Guru Sunetta berpikir: ‘Tidaklah selayaknya jika aku mencapai alam tujuan masa depan yang persis sama dengan para muridku. Biarlah aku mengembangkan cinta kasih lebih jauh lagi. Kemudian selama tujuh tahun Guru Sunetta mengembangkan pikiran cinta kasih. Sebagai konsekuensinya, selama tujuh kappa penghancuran dan pengembangan dunia ia tidak kembali ke alam ini. Ketika dunia sedang hancur, [105] ia mengembara di [alam] cahaya gemerlap. Ketika dunia sedang mengembang, ia terlahir kembali di dalam sebuah istana Brahmā yang kosong.

[Kitab Komentar : Sang Buddha menghubungkan hal ini dengan sosok dirinya sendiri dengan merujuk pada kehidupan lampaunya.]

“Di sana ia adalah Brahmā, Brahmā Agung, penakluk, yang tidak tertaklukkan, maha melihat, maha kuasa. Ia menjadi Sakka, penguasa para deva, sebanyak tiga puluh enam kali. Ratusan kali ia menjadi raja pemutar-roda, seorang raja yang baik yang memerintah sesuai Dhamma, seorang penakluk yang kekuasaannya merentang hingga empat penjuru, seorang yang telah mencapai stabilitas dalam negerinya, yang memiliki tujuh pusaka. Ia memiliki lebih dari seribu putra yang merupakan pahlawan-pahlawan, yang perkasa, mampu menggilas bala tentara musuh-musuh mereka. Ia menguasai setelah menaklukkan bumi ini hingga sejauh batas samudra, bukan dengan kekuatan dan senjata melainkan dengan Dhamma.

“Para bhikkhu, walaupun ia memiliki umur yang sedemikian panjang dan berlanjut selama waktu yang lama, Guru Sunetta masih belum terbebas dari kelahiran, dari usia tua dan kematian, dari dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan siksaan. Ia tidak terbebas dari penderitaan, Aku katakan. Karena alasan apakah? Karena ia tidak memahami empat hal. Apakah empat ini? Perilaku bermoral yang mulia, konsentrasi yang mulia, kebijaksanaan yang mulia, dan kebebasan yang mulia.

“Perilaku bermoral yang mulia, para bhikkhu, telah dipahami dan ditembus. Konsentrasi yang mulia telah dipahami dan ditembus. Kebijaksanaan yang mulia telah dipahami dan ditembus. Kebebasan yang mulia telah dipahami dan ditembus. Ketagihan pada penjelmaan telah dipotong; saluran penjelmaan telah dihancurkan; sekarang tidak ada lagi penjelmaan baru.” [106]

Ini adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Setelah mengatakan ini, Yang Berbahagia, Sang Guru, lebih lanjut mengatakan sebagai berikut:

“Perilaku bermoral, konsentrasi, kebijaksanaan,

dan kebebasan yang tidak terlampaui:

hal-hal ini Sang Gotama yang termasyhur

telah dipahami oleh diriNya sendiri.

“Setelah secara langsung mengetahui hal-hal ini,

Sang Buddha mengajarkan Dhamma kepada para bhikkhu.

Sang Guru, pembuat-akhir penderitaan,

Seorang dengan penglihatan, telah mencapai nibbāna.”

Sebaliknya, bukti bahwa “tawakal” hanya ada dalam kamus kalangan PENDOSA PECANDU PENGHAPUSAN DOSA maupun para KORUPTOR DOSA, dapat kita jumpai dalam—kesemuanya dikutip dari Hadis Sahih Muslim:

- No. 4852 : “Dan barangsiapa yang bertemu dengan-Ku dengan membawa kesalahan sebesar isi bumi tanpa menyekutukan-Ku dengan yang lainnya, maka Aku akan menemuinya dengan ampunan sebesar itu pula.

- No. 4857 : “Barang siapa membaca Subhaanallaah wa bi hamdihi (Maha Suci Allah dan segala puji bagi-Nya) seratus kali dalam sehari, maka dosanya akan dihapus, meskipun sebanyak buih lautan.

- No. 4863 : “Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengajarkan kepada orang yang baru masuk Islam dengan do'a; Allaahummaghfir lii warhamnii wahdinii warzuqnii'. (Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku, tunjukkanlah aku, dan anugerahkanlah aku rizki).”

- No. 4864 : “Apabila ada seseorang yang masuk Islam, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengajarinya tentang shalat kemudian disuruh untuk membaca do'a: Allaahummaghfir lii warhamnii wahdinii wa'aafini warzuqnii'. (Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku, tunjukkanlah aku, sehatkanlah aku dan anugerahkanlah aku rizki).”

- No. 4865 : “Ya Rasulullah, apa yang sebaiknya saya ucapkan ketika saya memohon kepada Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: 'Ketika kamu memohon kepada Allah, maka ucapkanlah doa sebagai berikut; 'Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku, selamatkanlah aku,”

- Aku mendengar Abu Dzar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Jibril menemuiku dan memberiku kabar gembira, bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga.” Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzina? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzina’.” [Shahih Bukhari 6933]

- Dari Anas radhiallahu ‘anhu, ia berkata : Saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : Allah ta’ala telah berfirman : “Wahai anak Adam, selagi engkau meminta dan berharap kepada-Ku, maka Aku akan mengampuni dosamu dan Aku tidak pedulikan lagi. Wahai anak Adam, walaupun dosamu sampai setinggi langit, bila engkau mohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku memberi ampun kepadamu. Wahai anak Adam, jika engkau menemui Aku dengan membawa dosa sebanyak isi bumi, tetapi engkau tiada menyekutukan sesuatu dengan Aku, niscaya Aku datang kepadamu dengan (memberi) ampunan sepenuh bumi pula. (HR. Tirmidzi, Hadits hasan shahih) [Tirmidzi No. 3540]

PENDOSA, namun hendak berceramah perihal akhlak, hidup suci, luhur, adil, jujur, mulia, agung, lurus, bertanggung-jawab, berjiwa ksatria, dan bersih? Siapakah yang paling mengharap dihapus dosa-dosanya? Tentunya para PENDOSA. Semakin BERDOSA, semakin sang PENDOSA tergila-gila mencandu dan mabuk “PENGHAPUSAN DOSA”. Mabuk “DOSA-DOSA UNTUK DIHAPUSKAN” dan disaat bersamaan juga mabuk “PENGHAPUSAN DOSA” (keduanya bersifat “bundling” alias satu paket), lewat teladan mabuk serta kecanduan sang nabi junjungan yang kemanapun ia pergi selalu membawa serta sebilah pedang (SENJATA TAJAM UNTUK MENUMPAHKAN DARAH)—juga masih dikutip dari Hadis Muslim:

- No. 4891. “Saya pernah bertanya kepada Aisyah tentang doa yang pernah diucapkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memohon kepada Allah Azza wa Jalla. Maka Aisyah menjawab; 'Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah berdoa sebagai berikut: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatan yang telah aku lakukan dan yang belum aku lakukan.’

- No. 4892. “Aku bertanya kepada Aisyah tentang do'a yang biasa dibaca oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, maka dia menjawab; Beliau membaca: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatan yang telah aku lakukan dan yang belum aku lakukan.’

- No. 4893. “dari 'Aisyah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di dalam do'anya membaca: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukkan sesuatu yang telah aku lakukan, dan dari keburukkan sesuatu yang belum aku lakukan.’”

- No. 4896. “dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bahwasanya beliau pemah berdoa sebagai berikut: ‘Ya Allah, ampunilah kesalahan, kebodohan, dan perbuatanku yang terlalu berlebihan dalam urusanku,  serta ampunilah kesalahanku yang Engkau lebih mengetahui daripadaku. Ya Allah, ampunilah aku dalam kesungguhanku, kemalasanku, dan ketidaksengajaanku serta kesengajaanku yang semua itu ada pada diriku. Ya Allah, ampunilah aku atas dosa yang telah berlalu, dosa yang mendatang, dosa yang aku samarkan, dosa yang aku perbuat dengan terang-terangan dan dosa yang Engkau lebih mengetahuinya daripada aku,”

- Aisyah bertanya kepada Rasulullah SAW, mengapa suaminya shalat malam hingga kakinya bengkak. Bukankah Allah SWT telah mengampuni dosa Rasulullah baik yang dulu maupun yang akan datang? Rasulullah menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?” [HR Bukhari Muslim]