Satu Tangan Berbuat Baik, Tangan Lainnya Memohon “Penghapusan / Pengampunan Dosa”, Dua Preposisi yang Tidak Pernah Sejalan, Bertolak-Belakang
Terdapat sebuah tempat ibadah “norakisme” ala “narsistik” di dekat kediaman penulis, pada suatu Jum’at tengah hari seorang pemuka agama mereka lewat pengeras suara eksternal yang luar biasa membahana, berceramah perihal berbuat kebajikan, pentingnya amal kebaikan, dan segala perbuatan baik lainnya dalam rangka agar sang umat dapat diterima di kerajaan Tuhan yang mereka sembah. Tampaknya tidak ada yang salah dengan ceramah tersebut, namun pemuka agama yang sama pada malam harinya kembali berceramah pada tempat ibadah yang sama, dengan toa pengeras suara yang sama membahananya, akan tetapi dengan topik yang berbeda, yakni mengenai “pengampunan / penghapusan dosa”—yang mana notabene kedua topik tersebut sejatinya saling menegasikan alias saling menihilkan serta bertolak-belakang satu sama lainnya antar dogma, inkonsisten.
Sang pemuka agama tampaknya
tidak hanya ber-“standar ganda”, namun juga berwajah ganda, mengakibatkan
penulis teringat kembali sebuah kalimat sarkastik berikut yang dahulu pernah
penulis baca pada satu kesempatan : “Aku
benci orang bermuka dua, itu membuatku lebih sulit untuk memutuskan mana yang harus
ditampar terlebih dahulu.” Untuk apa repot-repot berbuat kebajikan, cukup
menyembah dan memohon pemberian dari Tuhan, selesai masalahnya (bagi para
pemalas). Sebaliknya, untuk apa juga jadi orang baik-baik, menjadi orang jahat
saja tetap masuk surga berkat janji-janji surgawi berupa iming-iming
“penghapusan / pengampunan dosa”?
Kini, penulis akan membahas
level atau tingkatan tabiat seorang manusia. Tingkatan paling rendah, ialah “pendosa”.
Tingkatan selanjutnya yakni tingkat manusia menengah, ialah mereka yang mampu
menepati janji serta bertanggung-jawab terhadap orang lain ketika melakukan
kesalahan baik karena kelalaiannya maupun akibat kesengajaan yang bersangkutan.
Tingkat yang lebih tinggi diduduki oleh orang-orang baik, alias mereka yang
lebih banyak melakukan perbuatan-perbuatan bajik semasa hidupnya, rajin menanam
benih-benih Karma baik lewat usaha sendiri. Tingkat yang tertinggi, tentu saja,
ialah orang-orang suci yang tidak memiliki cela apapun perilakunya yang dapat
dicela oleh para bijaksanawan, berkat pengendalian diri serta praktik latihan
mawas diri yang ketat dan tidak kompromistik.
Berlainan atau
bertolak-belakang dengan para suciwan, para pendosa tersebut begitu
kompromistik terhadap dosa maupun maksiat, akan tetapi disaat bersamaan
demikian intoleran terhadap kaum yang berbeda keyakinan. Masih pula mereka
berdelusi bahwa para pendosa tersebutlah yang “disukai oleh Tuhan” dan yang
paling tinggi derajatnya. Dogma-dogma yang dalam keseharian dimakan oleh para
pendosa tersebut sebagai menu sehari-hari mereka, ialah paradigma dangkal penuh
kecurangan, bahwasannya berbuat jahat—seperti menyakiti, melukai, maupun
merugikan warga lainnya—tidak perlu bertanggung-jawab kepada korban, namun
cukup memohon pengampunan dosa kepada versi “Tuhan” yang mereka sembah.
Bertanggung-jawab artinya
MERUGI, sementara itu melarikan diri serta “tabrak lari” alias “hit and run” artinya UNTUNG. Mengapa pula,
berbuat salah dan jahat kepada korban, justru memohon pengampunan kepada Tuhan,
seolah-olah Tuhan lebih PRO terhadap para pendosa tersebut alih-alih bersikap
adil bagi kalangan korban dari para pendosa demikian. Untuk memuliakan Tuhan,
satu-satunya jalan ialah dengan menjadi manusia yang mulia dan berintegritas,
bukan dengan menjadi seorang “pendosa penjilat penuh dosa”. Cobalah
perhatikan sendiri, seolah-olah bukan hal tabu, tanpa rasa malu ataupun takut, lewat
pengeras suara mereka justru mengkampanyekan ideologi “too good to be true” bernama pengampunan / penghapusan dosa alih-alih
mempromosikan gaya hidup jujur dan bertanggung-jawab bagi dirinya sendiri
maupun bagi korban-korban mereka selama ini.
Setiap harinya, ketika
beribadah lewat ritual sembah-sujud, yang dimohonkan ialah penghapusan dosa (abolition of sins). Begitupula ketika
hari raya keagamaan mereka, lagi-lagi yang diumbar dan diobral (artinya murahan,
juga “surga” yang murahan yang mana diisi oleh para pendosa-penjilat sebagai
penghuninya, tidak terkecuali versi “Tuhan” yang dangkal seleranya) ialah iming-iming
korup bernama penghapusan dosa. Bahkan, ketika sang pendosa (namun “agamais”, agama
bagi kalangan pendosa) meninggal dunia, sanak keluarga almarhum semata memanjatkan
doa permohonan pengampunan dosa bagi almarhum—alih-alih mendoakan kondisi korban-korban
dari sang pendosa selama hidupnya ini.
Pernah terjadi, dimana keluarga
penulis memiliki sebidang tanah yang diserobot oleh seorang “agamais” bahkan pemuka
agama di tempat ibadah setempat yang rajin mengumandangkan ayat-ayat kitab
mereka lewat pengeras suara, ketika si pelaku penyerobot meninggal dunia
dikemudian hari, sanak-keluarga almarhum mengumandangkan lewat pengeras suara
tempat ibadah mereka : “JIka almarhum
punya hutang-piutang, mohon disampaikan.” Namun, ketika penulis kemudian memprotes
penyerobotan tanah yang sudah terjadi puluhan tahun ini, alih-alih dikembalikan
dan mengembalikan, keluarga yang bersangkutan justru menampilkan gaya khas
mereka : aroganistik yang “menyelesaikan setiap masalah dengan kekerasan
fisik”. Sementara itu si pendosa-penyerobot ketika tiba di alam baka,
berkelit dari vonis hukuman dengan dalil sebagai berikut : “Sanak keluarga saya sudah mengumumkan lewat
pengeras suara, jika ada yang punya piutang, silahkan disampaikan. Tiada yang
menagih hutang-piutang, dan kalaupun ada, kami tidak pernah menjanjikan akan
melunasi ataupun membayar hutang ataupun balik menyerang dengan menuduh pihak
tersebut tidak punya empati karena menagih hutang saat keluarganya meninggal
dunia!”
Pendosa, hendak berceramah dan
menasehati orang lain agar hidup baik dan lurus? Itu namanya HIPOKRIT, lain di
mulut lain di perilaku, lain pula di teladan nyata yang lebih konkret daripada “lidah
tidak bertulang”. Hanya seorang pendosa, yang butuh iming-iming berupa
ideologi korup bernama “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”.
Itu menyerupai keadaan dimana seorang buta mencoba menuntun orang buta
lainnya, sama-sama buta atau sesama “butawan”, salah satunya dapat
dicerminkan dalam:
- Aisyah bertanya kepada Rasulullah SAW, mengapa suaminya shalat malam
hingga kakinya bengkak. Bukankah Allah SWT telah mengampuni dosa Rasulullah
baik yang dulu maupun yang akan datang? Rasulullah menjawab, “Tidak
bolehkah aku menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?” (HR Bukhari Muslim).
- QS An-Nissa 25 : ‘Dan (diharamkan bagi kamu mengawini) wanita
yang bersuami kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah
menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu
selain yang demikian (yaitu) mencari Isteri-isteri dengan hartamu untuk
dikawini bukan untuk berzina.’
- “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita
(lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut
tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak
yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat
aniaya” (Q.S. an-Nisa` [4]: 3).
- “Umar mendekati Batu Hitam dan menciumnya serta
mengatakan, ‘Tidak diragukan lagi, aku tahu kau hanyalah sebuah batu yang
tidak berfaedah maupun tidak dapat mencelakakan siapa pun. Jika saya tidak
melihat Utusan Allah mencium kau, aku tidak akan menciummu.” [Sahih
al-Bukhari, Volume 2, Buku 26, Nomor 680]
- Shahih Bukhari 6933 : “Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin
Basyar telah menceritakan kepada kami Ghundar telah menceritakan kepada kami
Syu’bah dari Washil dari Al Ma’rur berkata, “Aku mendengar Abu Dzar dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Jibril menemuiku dan memberiku kabar
gembira, bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan tidak menyekutukan
Allah dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga.” Maka saya bertanya,
‘Meskipun dia mencuri dan berzina? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri
dan juga berzina’.”
- “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka
mengucapkan 'TIDAK ADA TUHAN SELAIN ALLAH DAN BAHWA MUHAMMAD RASUL ALLAH',
menghadap kiblat kami, memakan sembelihan kami, dan melakukan shalat dengan
kami. Apabila mereka melakukan hal tersebut, niscaya kami diharamkan MENUMPAHKAN
DARAH dan MERAMPAS HARTA mereka.” [Hadist Tirmidzi No. 2533]
Mari kita bandingkan dengan apa yang selama ini dipelajari dan dilatih
oleh para umat Buddhist, sebagaimana teladan konkret maupun ajaran Sang
Buddha dalam “Aṅguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang
Buddha”,
Judul Asli : “The Numerical Discourses of
the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāḷi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa
Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara,
perihal perilaku beradab seorang manusia serta bahaya dibalik tuntutan seorang
buta, dengan kutipan sebagai berikut:
64 (4) Neraka
“Para bhikkhu, seseorang yang
memiliki empat kualitas dilemparkan ke neraka seolah-olah dibawa ke sana.
Apakah empat ini? Ia membunuh makhluk hidup, mengambil apa yang tidak
diberikan, melakukan hubungan seksual yang salah, dan berbohong. Seseorang yang
memiliki keempat kualitas ini dilemparkan ke neraka seolah-olah dibawa ke
sana.”
Membunuh makhluk hidup, mengambil apa yang tidak
diberikan, mengucapkan kebohongan, dan bergaul dengan istri-istri orang lain:
para bijaksana tidak memuji perbuatan-perbuatan demikian.
65 (5) Bentuk
“Para bhikkhu, ada empat jenis
orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini?
(1) Seorang yang menilai
dengan berdasarkan pada bentuk, yang keyakinannya berdasarkan pada bentuk.
(2) Seorang yang menilai
berdasarkan pada ucapan, yang keyakinannya berdasarkan pada ucapan.
(3) Seorang yang menilai
berdasarkan pada latihan keras, yang keyakinannya berdasarkan pada latihan
keras.
(4) Seorang yang menilai
berdasarkan pada Dhamma, yang keyakinannya berdasarkan pada Dhamma.
Ini adalah keempat jenis orang
itu yang terdapat di dunia.”
[Catatan keterangan oleh Bhikkhu
Bodhi : Yang pertama, tampaknya, adalah mereka yang berkeyakinan pada seorang
guru spiritual karena bentuk fisiknya (rūpa)
yang mengesankan, yaitu, penampilan baiknya. Yang ke dua adalah mereka yang
berkeyakinan dengan berdasarkan pada ucapan yang mengesankan (ghosa, mungkin “suara,” suara yang merdu
dan menenangkan); yang ke tiga, mereka yang berkeyakinan dengan berdasarkan
pada latihan keras sang guru (lūkha;
Mp memberikan contoh menggunakan jubah kasar dan mangkuk kasar); dan yang ke
empat, mereka yang berkeyakinan pada sang guru karena ajarannya (dhamma). Mp mengatakan bahwa satu dari
100.000 orang mendasarkan keyakinan mereka pada ajaran sang guru.]
Mereka yang menilai dengan
berdasarkan pada bentuk dan mereka yang mengikuti karena ucapan telah jatuh di
bawah kendali keinginan dan nafsu; orang-orang itu tidak memahami.
Seseorang yang tidak mengetahui
yang di dalam dan tidak melihat yang di luar, seorang dungu yang terhalangi di
segala sisi, dihanyutkan oleh ucapan.
Seseorang yang tidak mengetahui
yang di dalam namun melihat dengan jelas yang di luar melihat buah secara
eksternal, juga dihanyutkan oleh ucapan.
Tetapi seorang yang memahami yang di dalam dan melihat
dengan jelas yang di luar, melihat tanpa rintangan, tidak dihanyutkan oleh
ucapan.
66 (6) Bernafsu
“Para bhikkhu, ada empat jenis
orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini? Yang bernafsu, yang membenci,
yang terdelusi, yang angkuh. Ini adalah keempat orang itu yang terdapat di
dunia.”
Makhluk-makhluk terpikat oleh
hal-hal yang menggoda, mencari kesenangan dalam apa pun yang menyenangkan, makhluk-makhluk
rendah terikat oleh delusi, mengencangkan ikatan mereka.
Si dungu bepergian menciptakan
kamma tidak bermanfaat yang timbul dari nafsu, kebencian, dan delusi:
perbuatan-perbuatan menyusahkan yang menghasilkan penderitaan. Orang-orang
yang terhalangi oleh ketidak-tahuan, buta, tanpa mata untuk melihat, sesuai
dengan sifat mereka, tidak berpikir demikian.
[Penerjemah lain menerjemahkan versi
Pali aslinya dengan terjemahan sebagai berikut : “Sesuai dengan sifat mereka:
Mereka yang memiliki sifat di mana kualitas-kualitas seperti nafsu, dan
seterusnya, masih ada; setelah memiliki sifat demikian. [Mereka] tidak berpikir
demikian: Mereka tidak berpikir sebagai berikut: ‘Kami eksis dengan cara
demikian, kami memiliki sifat demikian’”]