LEGAL OPINION
Question:
Kami adalah kreditor pemegang jaminan kebendaan fidusia dan hak
tanggungan, ketika debitor wanprestasi dan terjadi kredit macet, dan
kami hendak mengeksekusi jaminan kebendaan debitor, terjadilah pailit
pada debitor kami tersebut. Pertanyaan kami, apakah masa insolvensi yang
menjadi waktu bagi hak kami untuk melelang eksekusi jaminan kebendaan
tersebut adalah mutlak dalam arti hanya sebatas 2 bulan? Adakah
kemungkinkan bagi kreditor separatis seperti kami untuk tetap melelang
eksekusi melebihi waktu 2 bulan tersebut mengingat adalah sukar untuk
memastikan terjual atau tidaknya objek lelang eksekusi. Maka kami
mengkhawatirkan bilamana sewaktu-waktu kurator meminta dari kami untuk
menyerahkan agunan yang kami miliki, bahkan sering kali terjadi gugatan
oleh kurator terhadap kreditor separatis.
Answer: Pada
prinsipnya UU Kepailitan itu sendiri telah mengatur dengan tegas bahwa
yang terpenting bukanlah pada masa insolvensi tersebut objek agunan
sudah harus terjual, yang diatur ialah “pada saat insolvensi kreditor
separatis sudah mulai untuk melaksanakan haknya”. Terjual atau
tidaknya objek agunan saat masa insolvensi, maka mekanisme pasar yang
menjawabnya. Hal ini tergambarkan dalam putusan Mahkamah Agung teraktual
dalam praktik litigasi.
EXPLANATION:
Pasal 59 Ayat (1) UU Kepailitan: “Dengan
tetap memperhatikan ketentuan Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal 58,
Kreditor pemegang hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) harus
melaksanakan haknya tersebut dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua)
bulan setelah dimulainya keadaan insolvensi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 178 ayat (1).”
Sementara Penjelasan Resmi Pasal 59 Ayat (1) UU Kepailitan: “Yang dimaksud dengan "harus melaksanakan haknya" adalah bahwa Kreditor sudah mulai melaksanakan haknya.” (mengenai hal ini akan dijelaskan dibawah)
Perkara
kasasi dengan perkara Nomor 576 K/Pdt.Sus/2011 antara Bank Mandiri
selaku kreditor pemegang hak tanggungan melawan kuratornya. Permasalahan
utama dalam perkara ini, kreditor separatis gagal menjual hak
tanggungan dan fidusia yang dipegangnya dalam pelelangan karena nilai
piutang mencapai 51 miliar rupiah, sehingga kesulitan menjaring calon
pembeli dalam jangka waktu insolvensi 2 (dua) bulan. Setelah lewat
jangka waktu insolvensi, kreditor menyerahkan benda fidusia kepada
kurator, sementara penguasaan hak atas tanah agunan (hak tanggungan)
belum dilimpahkan kepada kurator, sehingga kurator menggugat kreditor
separatis tersebut agar menyerahkan penguasaan atas aset agunan debitor
pailit.
Sementara
Pasal 59 ayat (2) UU Kepailitan mengatur, bahwa setelah lewat jangka
waktu insovensi 2 bulan, Kurator harus menuntut diserahkannya benda yang
menjadi agunan untuk selanjutnya dijual dibawah tangan.
Yang menarik, kreditor mempunyai interpretasi atas ketentuan insolvensi 2 bulan boleh menjual hak agunan, dengan menyatakan: “Secara
khusus kiranya perlu diperhatikan bahwa batas waktu 2 bulan (60 hari)
untuk mengeksekusi Hak Tanggungan adalah kurang rasional bila harus
sampai tuntas. Yang harus dinilai adalah apakah dalam waktu 2 bulan setelah Debitur Pailit dinyatakan insolvensi Kreditur Separatis sudah (mulai) melakukan eksekusi apa belum.”
Atas pertimbangan tersebut, MA dalam amar putusannya menyatakan gugatan kurator ditolak dengan pertimbangan:
1. Bahwa Sertifikat tanah sengketa bukan atas nama debitor pailit[1];
2.
Bahwa sertifikat adalah akta otentik yang tidak dapat di kesampingkan
dengan akta dibawah tangan, sekalipun itu pernyataan dari pemberi
jaminan.
3.
Bahwa Pasal 59 ayat (2) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dihubungkan dengan ayat (1) maka sesuai dengan penjelasan
Pasal tersebut yang harus melaksanakan haknya adalah kreditur (i.c.
Tegugat). Tergugat sudah mulai melaksanakan haknya, dengan cara
menjual lelang sebagaimana di dalilkan Penggugat dalam gugatannya,
berarti kreditur (Tergugat) sudah melaksanakan haknya
4. Bahwa karena kreditur sudah melaksanakan haknya maka kurator (i.c. Penggugat) tidak dapat menuntut penyerahan agunan tersebut.
SHIETRA
& PARTNERS meminta fatwa kepada Mahkamah Agung terkait putusan
kasasi tersebut, apakah putusan tersebut akan menjadi yurisprudensi dan
dipatuhi oleh hakim di pengadilan negeri serta para hakim lainnya dalam
memutus perkara serupa guna kepastian hukum? Namun, Mahkamah Agung
menolak untuk memberikan fatwa hukum terkait isu hukum diatas yang
selama ini telah banyak menghasilkan sengketa akibat kesimpangsiuran
pandangan hukum.
Putusan tersebut diatas unik, karena menjadi landmark decision,
dalam arti dalam setiap sengketa gugatan antara kreditor dan kurator,
acapkali kurator dimenangkan. Namun, putusan dengan nuansa amar berbeda
ini tampil lain daripada yang lain. Sehingga amatlah disayangkan bila
Mahkamah Agung menolak untuk menyatakan putusan yang telah inkracht tersebut sebagai yurisprudensi atau tidaknya.
Pasal 21 UU No.4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, mengatur: “Apabila pemberi Hak Tanggungan dinyatakan pailit, pemegang Hak Tanggungan tetap berwenang melakukan segala hak yang diperolehnya menurut ketentuan Undang-Undang ini.”
Penjelasan pasal tersebut menerangkan: “Ketentuan ini lebih memantapkan kedudukan diutamakan pemegang Hak Tanggungan dengan mengecualikan berlakunya akibat kepailitan pemberi Hak Tanggungan terhadap obyek Hak Tanggungan.”
Apa yang dimaksud kreditor separatis “sudah mulai melaksanakan haknya” saat masa insolvensi?
Menurut pendapat Ketua Tim Perumus UU Kepailitan dan PKPU, Ibu Elijana Tansah, S.H., menuliskan: “Bahwa berdasarkan Pasal 59 Ayat (1) dan Penjelasan dari UU Kepailitan dan PKPU, maksud dari kreditor separatis “sudah harus melaksanakan haknya” dalam jangka waktu paing lambat 2 (dua) bulan setelah dimulainya keadaan insolvensi adalah bahwa kreditor separatis “sudah mulai melaksanakan haknya”.
Jadi cukup kreditor separatis sudah mulai dengan tindakan eksekusi
seperti telah mengajukan permohonan lelang kepada instansi yang
berwanang, dan tidak perlu bahwa benda-benda yang menjadi agunan telah
terjual.”
Lanjutnya,
“Bahwa sebagai Ketua Tim Perumus UU Kepailitan dan PKPU, kami
mengetahui persis bahwa diberikannya penjelasan pada Pasal 59 ayat (1)
dari UU Kepailitan dan PKPU adalah agar tidak menimbulkan multi tafsir
terhadap frase “harus melaksanakan haknya …”. Bahwa makna sesungguhnya dari frase “harus melaksanakan haknya tersebut …” adalah bahwa kreditor separatis sudah mulai melaksanakan haknya dan bukan kreditor separatis sudah selesai melaksanakan haknya.”
KESIMPULAN:
UU Kepailitan tidak menyatakan bahwa pada masa insolvensi kreditor
separatis sudah harus berhasil menjual objek agunan, yang diatur oleh
ketentuan hukum ialah pada masa insolvensi kreditor separatis sudah
mulai melaksanakan haknya, maka bila sekalipun pada masa insolvensi
ternyata objek agunan belum berhasil terjual, maka bilamana kreditor
separatis tetap hendak melaksanakan haknya, maka kurator tidak dapat
mengganggu gugat kreditor separatis yang masih melaksanakan haknya.
[1]
Dalam kasus ini, sertifikat tanah sengketa adalah agunan yang diberikan
oleh penjamin, bukan debitor pailit. Artinya, putusan ini juga
menegaskan secara tersirat, bahwa penjamin tak dapat dipailitkan juga
tak dapat mengajukan diri untuk pailit.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.