Menguji Materiil Surat Edaran Mahkamah Agung ke MA RI, Niscaya atau Kemustahilan?

LEGAL OPINION
Question: Ibarat meminta Mahkamah Agung untuk “jeruk makan jeruk”, sebetulnya apa bisa peluang memohon uji materiil peraturan yang dibuat oleh Mahkamah Agung itu sendiri, semisal bila ada warga keberatan terhadap satu atau beberapa pengaturan yang ada dalam Surat Edaran Mahkamah Agung tersebut?
Brief Answer: Mungkin, segala aturan hukum peraturan perundang-undangan yang paling “sakti”, bukanlah berbentuk undang-undang, namun berupa PERMA (Peraturan Mahkamah Agung) dan SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung). Betapa tidak, undang-undang dapat diajukan uji materiil (judicial review) ke hadapan Mahkamah Konstitusi RI, sementara Peraturan Presiden maupun Peraturan Menteri dan Kepala Daerah dapat diajukan pembatalan norma-norma didalamnya lewat mekanisme uji materiil ke hadapan Mahkamah Agung RI.
Khusus untuk PERMA maupun SEMA, menjadi pertanyaan besar: ke hadapan lembaga yudikatif manakah dapat diajukan uji materiil? Bagaimana mungkin memohon lembaga pembuat peraturan bersangkutan untuk menguji dan manganulir produk hukum buatannya sendiri—yang mana, bila dikabulkan, sama artinya meminta Ketua Mahkamah Agung untuk menampar wajahnya sendiri, oleh sebab beliau-lah yang menanda-tangani terbitnya peraturan (PERMA & SEMA) bersangkutan.
Karena itulah, menjadi keliru bila terdapat pandangan yang menyebutkan bahwa norma hukum tertinggi ada dalam “undang-undang”, karena pada kenyataannya yang paling “sakti” ialah SEMA dan PERMA—tidak dapat dibatalkan lewat uji materiil dan seluruh hakim lebih takut melanggar PERMA dan SEMA ketimbang melanggar bunyi undang-undang.
Bahkan, saking berkuasanya lembaga Mahkamah Agung RI, putusan Mahkamah Konstitusi RI dapat dianulir dan disimpangi oleh Mahkamah Agung RI semudah menerbitkan kebijakan sendiri yang diberi kemasan judul “SURAT EDARAN” meski norma substansi didalamnya berisi norma-norma hukum bersifat imperatif kepada publik pencari keadilan.
Salah satu contoh pembangkangan MA RI, ialah perihal “upah proses” dalam sengketa hubungan industrial yang oleh Mahkamah Konstitusi RI dinyatakan “diberikan sampai perkara berkekuatan hukum tetap”, namun oleh Mahkamah Agung RI lewat SEMA yang diterbitkan setelah itu, dinyatakan hanya sebatas 6 bulan upah.
Dari sudut pandang itulah, praktik dan regulasi hukum di Indonesia terbilang “compang-camping”. Mahkamah Agung RI kerap menyusupi berbagai norma hukum yang berimbas kepada masyarakat luas (pencari keadilan) ke dalam kemasan yang diberi judul “SURAT EDARAN”—sebagai cara efektif membungkam kritik dari publik dan agar mendapat “imunitas”. Sama seperti jangan melihat judul “Memorandum of Understanding” sebagai kontraktual mengikat atau tidaknya, tapi lihatlah kandungan SUBSTANSINYA.
PEMBAHASAN:
Tampaknya sudah ada preseden yang menjadi gambaran pendirian Mahkamah Agung RI dalam konteks perkara permohonan uji materiil terhadap Surat Edaran Mahkamah Agung, sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS rujuk pada putusan Mahkamah Agung RI register Nomor 27 P/HUM/2015 tanggal 29 September 2015, perkara antara:
1. PERKUMPULAN MASYARAKAT PEMBAHARUAN PERADILAN PIDANA atau INSTITUTE FOR CRIMINAL JUSTICE REFORM (ICJR); 2. PERKUMPULAN INISIATIF MASYARAKAT PARTISIPATIF UNTUK TRANSISI BERKEADILAN (IMPARSIAL); 3. PERKUMPULAN HRWG (KELOMPOK KERJA KOALISI NGO UNTUK ADVOKASI INTERNASIONAL HAK ASASI MANUSIA); 4. PERKUMPULAN MASYARAKAT SETARA, sebagai Para Pemohon; melawan
- KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA (MA RI), selaku Termohon.
Pihak Pemohon mengajukan permohonan “uji materiil” terhadap Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana. sebelumnya, telah ditentukan bahwa “Peninjauan Kembali” dapat lebih dari satu kali, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi, sebelum kemudian dianulir oleh MA RI lewat SEMA bersangkutan.
Mengingat pentingnya peninjauan kembali sebagai upaya mencari keadilan bagi terpidana, Mahkamah Konstitusi melalui putusannya Nomor 34/PUU-XI/2013, mempertegas bahwa pengajuan Peninjauan Kembali pada perkara pidana tidak seharusnya dibatasi jumlah pengajuannya. Melalui putusan ini, Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 268 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yang menguraikan permohonan Peninjauan Kembali hanya dapat dilakukan satu kali saja, tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Konsekuensi dari putusan MK RI di atas, terpidana menjadi berhak untuk mengajukan Permohonan Kembali, sebanyak lebih dari satu kali sepanjang memenuhi persyaratan yang diatur. Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi menekankan bahwa Peninjauan Kembali merupakan pengejahwantahan hakikat proses peradilan perkara pidana yang pembuktiannya harus meyakinkan Hakim mengenai kebenaran terjadinya suatu peristiwa (kebenaran materil), yaitu kebenaran yang didalamnya tidak terdapat keraguan. Dalam mencapai kebenaran materil ini, tidak seharusnya ketentuan yang bersifat formalitas membatasi upaya terpidana dan hakim untuk mencari keberanan materil. Salah satunya pembatasan pengajuan permohoan Peninjauan Kembali hanya satu kali.
Mahkamah Konstitusi berkeyakinan bahwa keadilan tidak dapat dibatasi oleh waktu atau ketentuan formalitas yang membatasi bahwa upaya hukum luar biasa (Peninjauan Kembali) hanya dapat diajukan satu kali, karena mungkin saja setelah diajukannya Peninjauan Kembali dan diputus, ada keadaan dan bukti baru (novum) yang substansial ditemukan yang pada saat Peninjauan Kembali sebelumnya belum ditemukan.
Yang menjadi pokok keberatan Para Pemohon Uji Materiil ini, Mahkamah Agung RI justru lewat SEMA yang ditebitkannya telah mengamputasi hak publik untuk mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) untuk “kesekian” kalinya, dimana SEMA tersebut membatasi hanya dimungkinkan PK sebanyak sebatas 1 kali.
Tanggapan Jaksa dan Pemerintah, yang menjadi latar belakang terbitnya SEMA Nomor 7 Tahun 2014, bahwa putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 yang mengubah kebiasaan hukum acara pidana, mendapat tanggapan serius dari Kejaksaan Agung dan juga pemerintah. Kejaksaan Agung menilai putusan ini akan menghambat proses eksekusi mati terhadap beberapa terpidana karena terpidana tersebut akan mengajukan Peninjauan Kembali untuk kedua kalinya. Pemerintah melalui Menko Polhukam Tedjo Edhi mengatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi tersebut akan menciptakan ketidak-pastian hukum dan mengusulkan untuk mengubah putusan tersebut.
Menindaklanjuti polemik demikian, pihak Pemerintah, Kejaksaan Agung, dan Termohon mengadakan pertemuan pada 9 Januari 2015 di Kantor Kemenkumham. Sebagai jalan keluar untuk menyelesaikan polemik yang ada, Termohon akhirnya menerbitkan SEMA Nomor 7 Tahun 2014 yang pada esensinya menegaskan bahwa permohonan Peninjauan Kembali atas dasar ditemukannya bukti baru hanya dapat diajukan satu kali, sedangkan permohonan peninjauan kembali dengan dasar adanya pertentangan putusan dapat diajukan lebih dari satu kali.
Lahirnya SEMA Nomor 7 Tahun 2014 telah menimbulkan masalah yang jauh lebih rumit lagi, menurut Pemohon. SEMA Nomor 7 Tahun 2014 dianggap sebagai suatu bentuk ketidak-patuhan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi, bahkan Mahkamah Konstitusi sendiri menganggap bawah kejadian ini merupakan suatu bentuk pembangkangan dari konstitusi. Termohon sendiri tetap pada keyakinannya bahwa SEMA Nomor 7 Tahun 2014 diterbitkan untuk memberikan kepastian hukum, disamping ketentuan mengenai pembatasan pengajuan Peninjauan Kembali yang hanya dapat dilakukan satu kali masih berlaku berdasarkan Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 66 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009.
Dimana terhadapnya permohonan uji materiil demikian, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan secara sumir saja, seakan Mahkamah Agung mencoba mengingkari fakta yang sejatinya telah terang-benderang, sebagai berikut:
“bahwa maksud dan tujuan permohonan keberatan hak uji materiil dari Para Pemohon adalah sebagaimana tersebut di atas;
“Menimbang, bahwa yang menjadi objek permohonan keberatan hak uji materiil Para Pemohon adalah Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana;
“Menimbang, bahwa sebelum Mahkamah Agung mempertimbangkan tentang substansi permohonan yang diajukan Para Pemohon, maka terlebih dahulu akan dipertimbangkan syarat formal permohonan a quo, yaitu apakah objek keberatan hak uji materiil merupakan peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang yang menjadi wewenang Mahkamah Agung untuk mengujinya sebagaimana dimaksud dalam ketentuan sebagai berikut:
1. Pasal 24A ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan: ‘Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undangundang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.’;
2. Pasal 20 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan: ‘Mahakamah Agung berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang.’;
3. Pasal 31A ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan Pasal 1 ayat (4) Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 01 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil, yang menyatakan: ‘Permohonan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang diajukan langsung oleh pemohon atau kuasanya kepada Mahkamah Agung dan dibuat secara tertulis dalam bahasa Indonesia.’;
“Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan tersebut di atas Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang;
“Menimbang, bahwa Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dalam Bab III : Jenis, Hierarki, dan Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan, menentukan sebagai berikut:
1. Pasal 7 ayat (1) menyatakan: Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi dan;
g. Peraturan Daerah Kabupaten / Kota;
2. Pasal 8 ayat (1) menyatakan: ‘Jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oeh MPR, DPR, DPD, MA, MK, BPK, KY, BI, Menteri, Badan, Lembaga, atau Komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, DPRD Provinsi, Gubernur, DPRD Kabupaten / Kota, Bupati / Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.’;
“Menimbang, bahwa beranjak dari ketentuan tersebut, yang perlu dipahami adalah apakah objek hak uji materiil termasuk jenis peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 7 dan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan? Terhadap hal yang demikian, H.P. Panggabean dalam bukunya ‘Fungsi Mahkamah Agung Dalam Praktek Sehari-Hari’ yang diterbitkan Sinar Harapan, Jakarta, 2001, pada halaman 144, menyatakan bahwa:
- Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA), yaitu suatu bentuk edaran dari pimpinan Mahkamah Agung, ke seluruh jajaran peradilan yang isinya merupakan bimbingan dalam penyelenggaraan peradilan yang lebih bersifat administrasi;
- Peraturan Mahkamah Agung (PERMA), yaitu suatu bentuk peraturan dari prinsip Mahkamah Agung ke seluruh jajaran peradilan tertentu yang isinya merupakan ketentuan bersifat hukum acara;
“Menimbang, bahwa Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2014 tanggal 31 Desember 2014 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana (obyek hak uji materiil a quo) ditujukan kepada ketua pengadilan tingkat banding dan ketua pengadilan tingkat pertama merupakan bentuk edaran dari pimpinan Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud oleh H.P. Panggabean tersebut diatur dan bukan bentuk peraturan sebagai peraturan Mahkamah Agung, sehingga SEMA Nomor 7 Tahun 2014 tersebut tidak termasuk peraturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, sehingga SEMA Nomor 7 Tahun 2014 tersebut tidak termasuk obyek hak uji materiil;
“Menimbang, bahwa tidak ada pemberian delegasi mengenai pengaturan lebih lanjut tentang Peninjauan Kembali yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi maupun dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 mengenai pengajuan tentang Peninjauan Kembali, sehingga obyek pengujian hak uji materiil berupa Surat Edaran Mahkamah Agung tersebut tidak termasuk peraturan perundang-undangan yang dapat diuji Mahkamah Agung atau menjadi obyek keberatan pengujian hak uji materiil pada Mahkamah Agung Republik Indonesia; [Note SHIETRA & PARTNERS: Bila tidak diberi delegasi, maka apa dasar hak apa bagi Mahkamah Agung untuk membuat pengaturan terkait norma hukum KUHAP? Dengan kata lain, lahirnya berbagai PERMA & SEMA demikian tidak memiliki validitas.]
“Menimbang, bahwa oleh karena SEMA Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana (obyek hak uji materiil) tidak termasuk peraturan perundang-undangan yang dapat diuji Mahkamah Agung, maka permohonan hak uji materiil a quo haruslah dinyatakan tidak dapat diterima (niet onvankelijke verklaard);
“Menimbang, bahwa dengan dinyatakan tidak dapat diterimanya permohonan keberatan hak uji materiil dari Para Pemohon, maka Para Pemohon dihukum untuk membayar biaya perkara, dan terhadap substansi permohonan a quo tidak perlu dipertimbangkan lagi;
M E N G A D I L I :
“Menyatakan permohonan keberatan hak uji materiil dari Para Pemohon: 1. PERKUMPULAN MASYARAKAT PEMBAHARUAN PERADILAN PIDANA atau INSTITUTE FOR CRIMINAL JUSTICE REFORM (ICJR), 2. PERKUMPULAN INISIATIF MASYARAKAT PARTISIPATIF UNTUK TRANSISI BERKEADILAN (IMPARSIAL), 3. PERKUMPULAN HRWG (KELOMPOK KERJA KOALISI NGO UNTUK ADVOKASI INTERNASIONAL HAK ASASI MANUSIA), 4. PERKUMPULAN MASYARAKAT SETARA tersebut, tidak dapat diterima.”
Catatan Penutup SHIETRA & PARTNERS :
Ironis, meski diberi judul “surat EDARAN”, namun senyatanya Surat Edaran Mahkamah Agung merupakan “kuasi” norma hukum undang-undang yang mengikat publik pencari keadilan. Berbagai SEMA maupun PERMA sejatinya berpotensi menutup atau membatasi akses masyarakat guna mendapat pelayanan di berbagai lembaga peradilan, sehingga karenanya kedudukan norma yang diatur dalam berbagai SEMA maupun PERMA tersebut bukanlah mengatur terkait masalah administrasi yang hanya melibatkan aparatur sipil negara internal lembaga peradilan dan Mahkamah Agung, namun juga berimbas dan berimplikasi nyata terhadap para pencari keadilan, dimana bahkan dapat kita jumpai juga substansi PERMA yang justru hanya mengandung muatan administrasi murni, dimana sebaliknya SEMA justru mengandung muatan norma hukum.
Sikap legalistis-formil Mahkamah Agung RI yang terkesan tidak realistis, tidak empatis, dan tidak rasional, sama artinya mematikan keadilan dan menutup akses peradilan bagi masyarakat pencari keadilan dengan memungkiri fakta bahwa berbagai norma yang dikandung dalam SEMA maupun PERMA merupakan peraturan perundang-undangan yang memiliki dampak yuridis bagi masyarakat luas pada umumnya.
Meski, kita juga ketahui bersama, Mahkamah Agung bukanlah Lembaga Legislatif, namun semata Lembaga Yudikatif, maka bila kita taat asas, sejatinya Mahkamah Agung RI tidak berhak menerbitkan PERMA! Bila lembaga peradilan tertinggi saja tidak taat terhadap asas paling mendasar dalam ilmu peraturan perundang-undangan, maka bagaimana praktik hukum di tengah masyarakat yang dapat kita harapkan?
Belum lagi ketika menyinggung perihal pendirian para hakim Agung yang berpendapat bahwa norma bentukan Mahkamah Konstitusi RI hanyalah “norma hukum abstrak, yang dapat disimpangi secara bebas oleh hakim di Pengadilan Negeri selaku pembuat “norma hukum konkret”. Ketika asas hukum menjadi demikian simpang-siur dan secara vulgar dipertontonkan oleh Mahkamah Agung RI, sikap apatis terhadap integritas lembaga tersebut menjadi tidak terelakkan.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.