Satu buah Kejahatan sudah Terlampau Banyak bagi Orang Baik. Sebaliknya, Satu buah Kejahatan Belum Cukup Banyak bagi Orang-Orang Jahat

Orang Indonesia Tidak Pernah Cukup Berbuat Satu buah Kejahatan / Keburukan

Hidup Berdampingan dengan Orang yang Tidak Malu dan Tidak Takut Berbuat Jahat & Buruk (Dosa) akibat Memakan dan Termakan Ideologi Korup Bernama PENGHAPUSAN DOSA (abolition of sins)

Hanya seorang Pendosa, yang Butuh Penghapusan / Pengampunan / Penebusan Dosa. Pendosa, hendak Berceramah Perihal Keadilan maupun Hidup Suci?

Question: Mengapa ya, masyarakat kita di Indonesia suka sekali melakukan hal yang buruk terhadap kita, sesama warga, namun ketika kita protes, berkeberatan, melawan, atau membalas perbuatannya, mereka justru kian menjadi-jadi dengan kembali berbuat buruk dan jahat terhadap kita secara lebih jahat lagi sifatnya, seolah-olah melakukan satu buah hal buruk belum terlampau buruk dan belum terlampau jahat bagi mereka? Padahal, negara ini tidak pernah kekurangan orang-orang yang “agamais”, rajin beribadah, dan mengaku ber-Tuhan, serta membungkus tubuhnya dengan busana keagamaan. Singkatnya, mengapa di Indonesia, selalu saja lebih galak yang ditegur daripada korban yang menegur mereka?

Banyak Kesempatan Berbuat Kabaikan dalam Keseharian yang Disia-Siakan Orang Dungu

Tidak Pernah ataupun Jarang Berbuat Baik, sama artinya sedang Bersikap Egois terhadap Dirinya Sendiri

Bukan Tidak Ada Kesempatan Berbuat Baik, namun Manusia Dungu cenderung Mengabaikan dan Menyepelekannya

Tentulah kita pernah atau sering mengamati dan mengalami langsung, bagaimana petugas pelayanan pada loket-loket pelayanan di kantor pemerintahan ataupun petugas pelayan di berbagai minimarket, beragam watak atau karakternya. Namun yang umum kita jumpai di Indonesia ialah, sikap kurang ramah alias aroganistik oleh Aparatur Sipil Negara alias Pegawai Negeri Sipil kita (terutama yang sudah lama bekerja di kantor pemerintahan) maupun pelayanan yang “standar-standar” saja pada pertokoan swasta—seolah-olah hanya kita yang “butuh” mereka, sekalipun sumber gaji mereka ialah apa yang dibayarkan oleh wajib pajak maupun oleh konsumen. Adapun “kami siap melayani dengan hati” masih sekadar jargon, dan mereka tampaknya cukup berpuas diri membodohi publik yang terbodohi lewat umbar jargon yang minim esensi demikian.