(DROP DOWN MENU)

Jadilah Konsumen yang Bertanggung-Jawab, Darurat Sampah Beling dan Styrofoam

Gerakan Konsumen yang Sadar Kelestarian Lingkungan, BOIKOT PRODUK-PRODUK KEMASAN YANG TIDAK RAMAH LINGKUNGAN

Wariskan Alam yang Bersih dari Sampah, Bukan Alam yang Rusak oleh Tumpukan maupun Ceceran Sampah

Satu dekade lampau, sampah / limbah bekas kemasan produk konsumsi berupa beling / kaca, diterima oleh pengepul sehingga kalangan pemulung kerap memulung limbah domestik rumah-tangga dari berbagai daerah pemukiman penduduk berupa kemasan beling. Patut kita apresiasi, langkah pemerintah yang melarang pemberian kantung plastik bagi konsumen pada ribuan minimarket, karena tarafnya sudah sangat mencemaskan serta memprihatikan. Adapun produk-produk dengan kemasan plastik, sekalipun juga merupakan limbah domestik rumah-tangga, namun setidaknya masih memiliki nilai ekonomis di mata para pemulung maupun pengepul botol-botol plastik bekas, yang karenanya sedikit atau banyaknya dapat mengurangi volumen sampah yang mencemari sungai, danau, hingga lautan. Sayangnya, regulasi terkait sampah domestik berupa kemasan berupa beling, tidak mendapat perhatian dari regulator baik di pusat maupun di daerah.

Bila kita berkomitmen menjadi konsumen yang perduli terhadap lingkungan hidup, maka bukan dengan cara meneriakkan yel-yel slogan ala kaum demonstran, seperti “TUTUP PABRIK BELING!”, itu tuntutan yang jelas tidak akan didengarkan oleh penyusun kebijakan. Caranya ialah dengan menjadi konsumen yang cerdas juga bertanggung-jawab terhadap lingkungan hidup, sebagai cara kita berwelas-asih serta membalas budi baik alam yang telah membesarkan dan menumbuhkan kita, yakni dengan tidak membeli produk-produk makanan kemasan maupun kemasan masakan yang berbahan tidak ramah lingkungan, seperti plastik yang berlebihan, styrofoam sekali pakai, terlebih beling yang bobotnya tidak pernah ringan.

Cobalah satu eksperimen kecil berikut, taruh di halaman kediaman Anda, beberapa buah botol kemasan plastik bekas minuman, lalu diantaranya Anda sertakan pula kemasan produk berbahan beling / kaca. Keesokan harinya, Anda lihatlah hasilnya. Ini menyerupai sisa masakan yang dibuang ke tong sampah, lalu kucing-kucing berdatangan dan tidak lama kemudian tulang ikan maupun tulang ayam telah raib dari tong sampah Anda, sementara itu bungkusan sampah Anda masih ada di sana, meski dalam kondisi telah terkoyak-koyak. Sampah bekas kemasan berbahan beling, tidak disentuh oleh pemulung, sementara itu sampah bekas kemasan plastik raib tanpa sisa. Karenanya, bijaklah memilah sampah, dan biarkan para pemulung mengurangi tumpukan sampah di tempat pembuangan akhir, sekaligus bisa cukup mengurangi beban lingkungan mengingat limbah plastik dapat didaur ulang serta bernilai ekonomis bagi kalangan pemulung.

Sampai kini, masih kita jumpai produk-produk makanan ataupun minuman di toko-toko maupun di minimarket, yang dikemas dengan botol beling / kaca tembus pandang, semata agar terkesan produk eksklusif, terutama sirup maupun saus tomat, tidak terkecuali beberapa produk kosmetik. Cara demikian mencerminkan sikap produsennya yang kurang bertanggung-jawab memerhatikan kondisi Bumi kita yang kian terbebani oleh tumpukan-tumpukan sampah yang telah menggunung, dimana bisa jadi kita telah meninggal dunia terlebih dahulu sebelum sampah-sampah limbah domestik rumah-tangga tersebut dapat terurai oleh mikroba di tanah. Cobalah renungkan, sepanjang hidup kita, telah berapa ton atau berapa ribu meter kubik sampah yang telah kita hasilkan, terutama limbah non-organik yang tidak dapat dengan mudah teurai oleh alam.

Beberapa produsen produk elektronik, telah cukup menyadari hal ini, dengan tidak lagi menyertakan styrofoam dalam kemasan kotak karton pembungkus produk elektronik mereka, namun secara kreatif membuat lipatan-lipatan dari karton yang mampu meredam benturan dari luar kotak. Styrofoam, sudah lama menjadi momok bagi para pelestari alam yang harus merepotkan diri membersihkan bantaran maupun air sungai dari limbah-limbah styrofoam bekas kemasan masakan, semisal warung bubur ayam, maupun penjual masakan gerobakan, hingga restoran. Sekalipun, kini telah terdapat susbtitusinya, yakni kemasan karton tipis namun kokoh dan gloosy sehingga mampu bertahan dari air berkat semacam lapisan menyupai lilin atau laminating. Para pelestari sungai, selalu berpesan ke masyarakat luas, hindari membeli masakan dengan kemasan styrofoam, atau setidaknya membawa wadah makanan sendiri dari rumah.

Adapun kemasan plastik yang terbawa oleh arus sungai menuju ke laut, cemarannya menimbulkan polutan terhadap air laut, mengakibatkan berbagai biota laut terpapar / terpajan racun “mikroplastik”, yang kemudian berdasarkan rantai piramida, berakhir di tubuh manusia yang meng-konsumsi ikan-ikan hasil tangkapan nelayan tersebut. Bahkan, penelitian menyebutkan, cemaran mikro-plastik juga ditemukan di tanah, yang kemudian diserap oleh tanaman pangan dan mengakibatkan buah-buahan maupun sayuran yang kita konsumsi telah cukup berkadar sebagai “beracun”, atau setidaknya tidak aman dan tidak sehat untuk dikonsumsi.

Bila limbah styrofoam mengambang di permukaan air, kemasan bekas produk dari berbahan dasar beling / kaca, tidak mengambang selayaknya limbah styrofoam, namun terbenam ke dasar sungai, sehingga terjadilah pendangkalan saluran air di pemukiman ataupun di sungai-sungai yang sukar untuk dibersihkan—bisa, namun sangat menguras energi serta biaya—sehingga dalam sudut pandang tertentu, jauh lebih mengancam dan membahayakan ekosistem ketimbang limbah-limbah domestik rumah-tangga lainnya. Plastik, styrofoam, maupun beling, adalah limbah-limbah domestik rumah-tangga yang paling kerap kita hasilkan setiap harinya selama puluhan tahun, dikalikan dengan jumlah penduduk di dunia ini, maka bila limbah-limbah domestik tersebut dikumpulkan menjadi satu di satu negara, bisa jadi negara tersebut sudah tenggelam oleh lautan atau bukitan sampah. Itukah yang hendak kita wariskan kepada generasi penerus kita?

Dari pengamatan pribadi penulis, limbah styrofoam butuh waktu setidaknya satu dekade untuk dapat terurai. Limbah dari kantung plastik, butuh sekitar lima tahun untuk terurai secara alamiahnya. Sementara itu plastik keras, cukup mengkhawatirkan, mengingat butuh waktu puluhan tahun dimana juga hanya beberapa jenis plastik yang dapat didaur-ulang seperti tipe plastik PP. Akan tetapi sampah beling, tetap utuh seperti sedia kala, tetap keras dan solid, sekalipun umurnya bisa jadi sudah sama tua dengan usia kita. Mengapa juga, kita masih merasa bahwa semua ini bukanlah sebentuk ancaman tersendiri yang sudah sangat mengkhawatirkan, dimana salah satunya sudah di depan mata kita, bernama banjir akibat pendangkalan sungai?

Mungkin saat kini kita belum merasakan secara langsung dampak negatif akibat sampah beling, plastik keras, styrofoam, dan limbah-limbah berbahaya dan beracun lainnya seperti alat-alat eletronik bekas / rusak yang juga sudah berupa tumpukan menggunung itu sendiri (mengingat tiada atau absennya regulasi yang mewajibkan kalangan produsennya untuk menyerap kembali produk-produk bekas yang semula dulu mereka dari pasarkan untuk didaur-ulang atau setidaknya dihilangkan sifat komponen beracunnya agar tidak membahayakan lingkungan hidup dan ekosistemnya, sehingga kalangan produsen kerap bersikap tidak bertanggung-jawab dengan “hit and run” (memproduksi secara masal, menjualnya secara meluas, lalu lepas tangan dan lepas tanggung-jawab ketika produk-produk rusaknya telah menjadi limbah). Kita baru masih sebatas menaruh perhatian terhadap limbah radioaktif dari reaktor nuklir yang dilepaskan ke laut lepas oleh pemerintah Jepang, karena khawatir mencemari lautan beserta biotanya yang menjadi konsumsi para manusia di daratan pada negara-negara tetangga, mengingat polusi lautan bersifat “lintas negara” menyerupai polusi udara dari kebakaran hutan.

Ketika alam rusak, maka ekosistem daya topang kehidupan manusia pun akan terancam, secara langsung maupun tidak langsung, serta secara cepat ataupun lambat. Kita masih membutuhkan produk-produk dari alam untuk kita konsumsi dalam keseharian untuk melangsungkan kehidupan diri dan keluarga secara sehat (back to nature). Sayangnya, orang-orang dungu mempunyai satu pola watak yang khas, yaitu seolah-olah sedang menunggu tiba waktunya untuk menyesal dikemudian hari, penyesalan mana selalu datang terlambat. Bahkan ada warga yang pernah mengatakan, bahwa dirinya tidak butuh pohon, sekalipun bernafas menghirup oksigen hanya dimungkinkan bilamana ada pepohonan yang memproduksi oksigen.

Masih segar ingat kejadian satu dekade lampau, ketika penulis berjumpa dan berdiskusi dengan seorang pengusaha pemilik pabrik kemasan botol plastik. Sang pengusaha menuturkan, teknologi kemasan botol plastik pada mulanya tidak dapat menjadi botol kemasan bagi minuman bersoda. Namun kini, kecanggihan teknologi modern untuk kemasan plastik telah memungkinkan produk-produk minuman bersoda dikemas dengan kemasan berupa botol plastik. Menjadi mengherankan, sampai kini masih juga dijumpai produk seperti sirup maupun saos tomat, yang menggunakan kemasan botol beling / kaca, sekalipun tiada urgensi untuk itu, dimana beberapa produsen saos tomat bahkan memproduksinya juga dalam kemasan plastik.

Betul bahwa kita masih dibebaskan oleh pemerintah di Indonesia untuk memilih produk, betul juga bahwa pemerintah abai menyusun regulasi agar dapat menertibkan berbagai produsen produk-produk kemasan berbahan beling maupun styrofoam. Namun kita sebagai bagian konsumen serta masyarakat yang cerdas, berakal-budi, serta bertanggung-jawab, sudah saatnya kita mem-boikot produk-produk yang dijual dan dipasarkan dalam kemasan beling (paling terutama) maupun styrofoam. Butuh kesadaran, komitmen, serta pemahaman dari segenap lapisan masyarakat selaku konsumen, dimulai dari diri kita sendiri, dengan turut mengisi ruang abai dan absen-nya pemerintah dalam mengedukasi masyarakat maupun kalangan produsen terkait hal ini, maupun dengan menghindari pembelian produk-produk yang kurang, terlebih yang tidak ramah lingkungan demikian. Jika kelestarian alam tidak mengandalkan keterlibatan aktif (kepedulian) kita, para kalangan konsumen yang bijaksana, maka siapa lagi? Semestinya kita merasa malu, mewariskan tumpukan sampah menggunung yang tidak terurai oleh alam (non-organik), kepada anak-cucu para generasi penerus kita.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.