(DROP DOWN MENU)

Pendosa, Mengharap Masuk Surga, Surga yang Ibarat Tong Sampah Raksasa bagi para Manusia Sampah (Pendosa)

Perbedaan antara Agama Buddha dan Agama Samawi, Buddhisme adalah Perihal Hukum Tabur-Tuai, sementara Agama Samawi Menina-Bobokan Para Pendosa lewat Iming-Iming Penghapusan Dosa

Kabar Baik bagi Pendosa, sama artinya Kebar Buruk bagi Kalangan Korban

Question: Di negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Buddha, para kriminil yang bermasalah dengan hukum adalah para Buddhist, maka bukankah itu artinya umat agama Buddha sama saja alias tidak berbeda dengan umat agama lain yang juga banyak bermasalah dengan hukum?

Brief Answer: Jelas tidak sama alias berbeda. Tidak ada satu pun teladan hidup maupun ajaran Buddha yang menyatakan seorang pendosa—tidak terkecuali termasuk umat bergama Buddha sekalipun—setelah melakukan perbuatan buruk yang tercela, maka pelakunya akan dimasukkan ke alam surgawi. Buddhisme ialah ajaran perihal konsekuensi, perihal meritokrasi, serta perihal  sikap egalitarian alias prinsip hukum tabur dan tuai—menanam yang baik maka menuai yang baik, begitu pula sebaliknya, si pelaku mewarisi serta memetik buah dari perbuatan sendiri. Sebagai umat, para Buddhist belajar serta berlatih untuk bertanggung-jawab atas perbuatannya sendiri alih-alih lebih sibuk menghakimi keyakinan umat beragama lainnya. Memperlakukan pihak lain sebagaimana kita ingin diperlakukan, dan tidak memperlakukan pihak lain sebagaimana kita tidak ingin diperlakukan.

Sebaliknya, adalah “Agama DOSA” ketika umatnya (pendosa) sibuk menikmati serta mencandu dogma-dogma tidak mendidik “too good to be true” bernama “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa” (aboliton of sins), sekalipun kita ketahui bahwa hanya seorang pendosa yang butuh “penghapusan dosa”. Pendosa, hendak berceramah perihal hidup suci, luhur, lurus, bersih, dan mulia? Itu ibarat orang buta hendak menuntun orang-orang buta lainnya. Mereka, para pendosa ini (dosawan), terlampau pemalas untuk menyingsingkan lengan baju merepotkan diri dalam rangka menanam benih-benih perbuatan baik, juga terlampau pengecut untuk mempertanggung-jawabkan perbuatan buruknya lewat aksi “cuci dosa”, “cuci tangan”, maupun “cuci uang”. Mereka begitu kompromistik terhadap dosa dan maksiat, akan tetapi disaat bersamaan demikian intoleran terhadap kaum yang majemuk dari segi keyakinan keagamaan.

Alhasil, para pendosa berbondong-bondong memeluk “Agama DOSA” ini—namun berdelusi sebagai “Agama SUCI” yang paling superior—sembari “business as usual” mengoleksi dosa, menimbun diri dengan segunung dosa, berkubang dalam dosa, memproduksi dosa, akan tetapi mengharap nikmat jatuh dari langit cukup semudah menyembah dan bersujud, serta masih pula merasa terjamin masuk surga setelah ajal menjemput para pendosa ini. Setiap harinya mereka menjalani ritual keagamaan, yang dimohon lewat pengeras suara ialah “penghapusan dosa”. Pada setiap hari raya keagamaan, para dosawan ini sesumbar memohon dan mengobral janji-janji serta iming-iming “penghapusan dosa”. Ketika sang dosawan meninggal dunia, sanak keluarga almarhum pendosa ini masih juga memohon “penghapusan dosa” bagi sang almarhum pendosa, seolah-olah Tuhan lebih PRO terhadap pendosa alih-alih bersikap adil bagi kalangan korban. Tidak pernah sekalipun para pecandu “Agama DOSA” ini membicarakan ataupun memikirkan perihal nasib kalangan korban akibat perbuatan-perbuatan para dosawan ini.

PEMBAHASAN:

Tidak pernah sekalipun Sang Buddha menyatakan bahwa dengan menjadi umat, maka akan terjamin masuk alam surgawi, salah satunya dapat kita rujuk langsung kepada khotbah Sang Buddha dalam “Aguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID 1”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, dengan kutipan sebagai berikut:

36 (6) Utusan-utusan.

“Para bhikkhu, ada tiga utusan surgawi ini. Apakah tiga ini? “Di sini, para bhikkhu, seseorang terlibat dalam perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Sebagai akibatnya, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan yang buruk, di alam rendah, di neraka. Di sana para penjaga neraka mencengkeramnya pada kedua lengannya dan membawanya kepada Raja Yama, [dengan berkata]: ‘Orang ini, Baginda, tidak berperilaku selayaknya terhadap ibu dan ayahnya; ia tidak berperilaku selayaknya terhadap para petapa dan brahmana; dan ia tidak menghormati saudara-saudara yang lebih tua dalam keluarga. Silakan Baginda menjatuhkan hukuman kepadanya!’

[NOTE Kitab Komentar: “Orang (yang) tua, orang sakit (dukkha), dan mayat (kematian) disebut ‘utusan-utusan surgawi’ (devadūta) karena mereka mendorong munculnya rasa keterdesakan, seolah-olah memperingatkan seseorang: ‘Sekarang engkau harus pergi menuju kematian.’”]

[Raja Yama merupakan “Dewa Kematian” legendaris dan hakim bagi takdir masa depan seseorang, dikenal pula sebagai Raja Alam Neraka.]

(1) “Kemudian Raja Yama menanyai, menginterogasi, dan mendebatnya tentang utusan surgawi pertama: ‘Tidak pernahkah engkau melihat utusan surgawi pertama yang muncul di antara manusia?’ Dan ia menjawab: ‘Tidak, Tuan, aku tidak melihatnya.’ “Kemudian Raja Yama berkata kepadanya: “Tetapi, tidak pernahkah engkau melihat di antara manusia seorang laki-laki atau seorang perempuan, berumur delapan puluh, sembilan puluh, atau seratus tahun, lemah, bungkuk seperti rusuk atap, bungkuk, berjalan terhuyung-huyung dengan ditopang oleh tongkat, menderita penyakit, tiada kemudaan, dengan gigi tanggal, dengan rambut memutih atau botak, dengan kulit keriput, dengan bercak pada bagian-bagian tubuh?’ Dan orang itu menjawab: ‘Pernah, Tuan, aku pernah melihat hal ini.’

“Kemudian Raja Yama berkata: ‘Tidak pernahkah terpikir olehmu, seorang manusia yang cerdas dan dewasa: “Aku juga tunduk pada penuaan, aku tidak terbebas dari penuaan. Biarlah aku sekarang melakukan perbuatan baik melalui jasmani, ucapan, dan pikiran”?’ [139] - ‘Tidak, Tuan, aku tidak mampu, aku lalai.’

“Kemudian Raja Yama berkata: ‘Karena kelalaian maka engkau telah gagal melakukan perbuatan baik melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Tentu saja mereka akan memperlakukanmu sesuai kelalaianmu. Kamma burukmu ini bukan dilakukan oleh ibu atau ayahmu, juga bukan oleh saudara laki-laki atau saudara perempuanmu, juga bukan oleh teman-teman dan kerabatmu, juga bukan sanak saudara dan anggota keluargamu, juga bukan oleh para dewa, juga bukan oleh para petapa dan brahmana. Sebaliknya adalah engkau sendiri yang melakukan kamma buruk itu, dan engkau sendiri yang akan mengalami akibatnya.’

(2) “Ketika Raja Yama telah menanyai, menginterogasi, dan mendebatnya tentang utusan surgawi pertama, kemudian ia menanyai, menginterogasi, dan mendebatnya tentang utusan surgawi kedua: ‘Tidak pernahkah engkau melihat utusan surgawi kedua yang muncul di antara manusia?’ Dan ia menjawab: ‘Tidak, Tuan, aku tidak melihatnya.’ Kemudian Raja Yama berkata: ‘Tidak pernahkah engkau melihat di antara manusia seorang laki-laki, atau seorang perempuan, yang sakit, menderita, sakit keras, berbaring di atas kotoran dan air kencingnya sendiri, harus diangkat oleh beberapa orang dan dibaringkan oleh beberapa orang lainnya?’ Dan ia menjawab: ‘Pernah, Tuan, aku pernah melihat hal ini.’

“Kemudian Raja Yama berkata: ‘Tidak pernahkah terpikir olehmu, seorang manusia yang cerdas dan dewasa: “Aku juga tunduk pada penyakit, aku tidak terbebas dari penyakit. Biarlah aku sekarang melakukan perbuatan baik melalui jasmani, ucapan, dan pikiran”?’ - ‘Tidak, Tuan, aku tidak mampu, aku lalai.’

“Kemudian Raja Yama berkata: [140] ‘Karena kelalaian maka engkau telah gagal melakukan perbuatan baik melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Tentu saja mereka akan memperlakukanmu sesuai kelalaianmu. Kamma burukmu ini bukan dilakukan oleh ibu atau ayahmu, juga bukan oleh saudara laki-laki atau saudara perempuanmu, juga bukan oleh teman-teman dan kerabatmu, juga bukan sanak saudara dan anggota keluargamu, juga bukan oleh para dewa, juga bukan oleh para petapa dan brahmana. Sebaliknya adalah engkau sendiri yang melakukan kamma buruk itu, dan engkau sendiri yang akan mengalami akibatnya.’

(3) “Ketika Raja Yama telah menanyai, menginterogasi, dan mendebatnya tentang utusan surgawi kedua, kemudian ia menanyai, menginterogasi, dan mendebatnya tentang utusan surgawi ketiga : ‘Tidak pernahkah engkau melihat utusan surgawi ketiga yang muncul di antara manusia?’ Dan ia menjawab: ‘Tidak, Tuan, aku tidak melihatnya.’

“Kemudian Raja Yama berkata: ‘Tidak pernahkah engkau melihat di antara manusia seorang laki-laki atau seorang perempuan, satu, dua, atau tiga hari setelah mati, membengkak, memucat, dan bernanah?’ Ia berkata: ‘Pernah, Tuan, aku pernah melihat hal ini.’

“Kemudian Raja Yama berkata: ‘Tidak pernahkah terpikir olehmu, seorang manusia yang cerdas dan dewasa: “Aku juga tunduk pada kematian, aku tidak terbebas dari kematian. Biarlah aku sekarang melakukan perbuatan baik melalui jasmani, ucapan, dan pikiran”?’ - ‘Tidak, Tuan, aku tidak mampu, aku lalai.’

“Kemudian Raja Yama berkata: ‘Karena kelalaian maka engkau telah gagal melakukan perbuatan baik melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Tentu saja mereka akan memperlakukanmu sesuai kelalaianmu. Kamma burukmu ini bukan dilakukan oleh ibu atau ayahmu, juga bukan oleh saudara laki-laki atau saudara perempuanmu, juga bukan oleh teman-teman dan kerabatmu, juga bukan sanak saudara dan anggota keluargamu, juga bukan oleh para dewa, juga bukan oleh para petapa dan brahmana. Sebaliknya adalah engkau sendiri yang melakukan kamma buruk itu, dan engkau sendiri yang akan mengalami akibatnya.’

“Ketika, para bhikkhu, Raja Yama telah menanyai, menginterogasi, dan mendebatnya sehubungan dengan utusan surgawi ketiga, ia berdiam diri. [141] Kemudian para penjaga neraka menyiksanya dengan lima tusukan. Mereka menusukkan sebatang pancang besi membara menembus satu tangan, dan menusukkan sebatang pancang besi membara menembus tangan lainnya; mereka menusukkan sebatang pancang besi membara menembus satu kakinya, dan menusukkan sebatang pancang besi membara menembus kaki lainnya; mereka menusukkan sebatang pancang besi membara menembus dadanya. Di sana ia merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk, namun ia tidak mati selama akibat dari kamma buruknya belum habis.

“Kemudian para penjaga neraka melemparnya ke bawah dan mengulitinya dengan kapak. Di sana ia merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk, namun ia tidak mati selama akibat dari perbuatan jahatnya belum habis. Kemudian para penjaga neraka menggantungnya dengan kaki di atas dan kepala di bawah dan mengulitinya dengan alat pengukir kayu ... Kemudian para penjaga neraka mengikatnya pada sebuah kereta dan menariknya kesana-kemari di atas tanah yang terbakar, menyala, dan berpijar ... Kemudian para penjaga neraka menyuruhnya memanjat naik dan turun di atas gundukan bara api yang terbakar, menyala, dan berpijar ... Kemudian para penjaga neraka menggantungnya dengan kaki di atas dan kepala di bawah dan mencelupkannya ke dalam panci logam panas yang terbakar, menyala, dan berpijar. Ia direbus di sana di dalam pusaran buih. Dan ketika ia direbus di sana di dalam pusaran buih, ia kadang-kadang terhanyut ke atas, kadang-kadang ke bawah, kadang-kadang ke sekeliling. Di sana ia merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk, namun ia tidak mati selama akibat dari kamma buruknya belum habis.

“Kemudian para penjaga neraka melemparnya ke dalam Neraka Besar. Sekarang, para bhikkhu, sehubungan dengan Neraka Besar: “Neraka ini memiliki empat sudut dan empat pintu dan terbagi dalam ruang-ruangan terpisah; dikelilingi oleh dinding besi dan ditutup dengan atap besi. [142]

“Lantainya juga terbuat dari besi dan dipanaskan dengan api hingga berpijar. Luasnya seratus yojana penuh yang mencakup seluruh wilayah itu.

“Suatu ketika, para bhikkhu, di masa lampau Raja Yama berpikir: ‘Mereka yang di dunia melakukan perbuatan-perbuatan jahat sungguh akan mengalami berbagai jenis siksaan. Oh, semoga aku terlahir kembali menjadi manusia! Semoga seorang Tathāgata, Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna muncul di dunia! Semoga aku dapat melayani Sang Bhagavā itu! Semoga Sang Bhagavā mengajarkan Dhamma kepadaku, dan semoga aku memahami DhammaNya!’

Para bhikkhu, Aku tidak mengulangi sesuatu yang Kudengar dari petapa atau brahmana lain, tetapi sebaliknya Aku membicarakan tentang sesuatu hal yang benar-benar Kuketahui, Kulihat, dan kupahami oleh diriKu sendiri.”

Walaupun diperingatkan oleh para utusan surgawi, orang-orang itu yang tetap lalai menderita untuk waktu yang lama, setelah mengembara di alam rendah. Tetapi orang-orang baik di sini yang, ketika diperingatkan oleh para utusan surgawi, tidak menjadi lalai sehubungan dengan Dhamma mulia; yang, setelah melihat bahaya dalam kemelekatan sebagai asal-mula kelahiran dan kematian, terbebaskan melalui ketidak-melekatan dalam padamnya kelahiran dan kematian: orang-orang berbahagia itu telah mencapai keamanan; mereka telah mencapai nibbāna dalam kehidupan ini. Setelah mengatasi segala permusuhan dan bahaya, mereka telah melampaui segala penderitaan.

Sang Buddha memiliki berbagai kesaktian buah dari kultivasi level pencapaian tertinggi dari meditasi samantha bhavana, seperti mengembara ke alam surgawi untuk mengajarkan Dhamma kepada almarhum ibu kandungnya, mata dewa untuk menyapa para raja dewa di seluruh penjuru, bahkan pernah muncul-teleportasi diri dan bertarung melawan Brahma di Alam Brahma yang mana sang Brahma memandang dirinya sebagai Tuhan) yang ternyata mampu ditaklukkan oleh Sang Buddha dan murid-murid-Nya), maupun telinga dewa untuk mendengarkan jeritan dan isak tangis para penghuni alam neraka. Hal demikian bertolak-belakang dengan agama-agama samawi dimana sang nabi hanya sekadar mendengarkan dari medium lain yang ia sebut sebagai “malaikat”—sehingga “messenger”-nya bukanlah si nabi, namun si malaikat—yang karenanya kesaksian sang nabi ialah sekadar “katanya, katanya, dan katanya”.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.