Ketika Masih Minoritas, Menuntut dan Menikmati Toleransi. Ketika telah menjadi Mayoritas, para Muslim justru Ingin Meniadakan Toleransi yang Dahulu Mereka Tuntut dan Nikmati, Menggantikannya dengan Intoleransi, Represi, serta Teror (Kitab Jawa DHARMO GHANDUL). Pola yang Sama Selalu Berulang dan Terulang di Setiap Negara
Memakan dan Termakan HOAX, Sebelum Kemudian Turut
Reproduksi HOAX tersebut, adalah DOSA—Fitnah Itu Sendiri
Fenomena Sarjana HOAX, Bergelar Sarjana namun Menu
Makanannya ialah HOAX
Belum lama ini, penulis berkomunikasi dengan seorang teman satu almamater yang bergelar sarjana bahkan memperoleh Strata-2 dari Fakultas Hukum di Tanah air, yang mana gelar kesarjanaan bermakna yakni mereka yang telah (semestinya dan seharusnya) tergolong intelek—cendekiawan (kalangan cerdik dan pandai) sebagai bagian dari lingkaran kaum intelektual, yang mana seyogianya juga bersikap ilmiah nan empirik, telah ternyata fakta berikut ini memperlihatkan realita yang sebaliknya sekaligus membuktikan betapa bahayanya “hoax”, yang dalam banyak kasus bahkan menyerupai ideologi itu sendiri—meyakini secara membuta, apapun faktanya, meyakini apa yang ia yakini ataupun meyakini apa yang ingin mereka yakini atau meyakini apa yang diyakini oleh mayoritas publik (keyakinan pada umumnya, tidak selalu benar adanya).
Komunikasi ialah perbincangan
seputar pemberitaan pelarangan pendirian rumah ibadah bagi agama non-islam,
yang terjadi sepanjang tahunnya, dari tahun ke tahun, di berbagai provinsi di
Tanah Air. Namun, penulis mendapati satu keganjilan yang sangat kentara, yakni
“standar ganda”, seolah-olah hanya umat islam yang memiliki keistimewaan untuk
diberi toleransi, sementara itu umat beragama lainnya boleh-boleh saja dan
sahih-sahih saja dilarang ibadah, direpresi keyakinannya lewat kriminalisasi
ala “penistaan agama”, maupun pendirian rumah ibadahnya sebagaimana praktik di
Timur Tengah. Di negara minoritas muslim, para muslim menuntut diberi toleransi
dan dihargai cara mereka beribadah.
Namun, di negara-negara
mayoritas muslim, para muslim tersebut justru tidak toleran terhadap umat
beragama non-muslim. Sejarah Nusantara sendiri, masuknya islam pada abad ke-15
Masehi ialah berkat toleransi yang diberikan Kerajaan Majapahit yang notabene
kerajaan Buddhist—agama nenek-moyang bangsa Indonesia ialah Buddhist, sejak
abad ke-5 sampai dengan abad ke-15 Masehi—namun ketika islam menjadi
mayoritas, para muslim kini ingin memberangus toleransi yang dahulu mereka
tuntut dan nikmati. Kawan satu almamater yang kini menjadi lawan bicara
penulis, berkulit putih dan tampaknya bukan muslim, namun secara ganjil dan
tendensius justru tampak memakan dan termakan oleh “hoax”, juga kemudian mengalihkan isu ke topik-topik seputar
Rohingya dan Uighur.
Terhadap yang bersangkutan,
yang menyatakan bahwa Uighur merupakan “kaum / etnik minoritas tertindas” oleh
China, maupun Rohingya yang juga “kaum tertindas” oleh Myanmar, telah penulis
nyatakan bahwa kesemua itu adalah “hoax”
belaka, sekalipun beberapa tahun yang lampau pihak pembuat “hoax” dan penyebarnya, yakni geng
bernama “Saracen” dan “Muslim Cyber Army” telah divonis pidana penjara sebagai
pelaku penyebaran berita bohong di Tanah Air, tetap saja ia bersikukuh dengan
keyakinannya tersebut—bahkan terkesan membuta serta tidak rasional, karena
tidak didasari oleh “evidences-based”
maupun “based on scientific evidence”
sebagaimana seorang ilmuan yang semestinya memiliki paradigma berpikir yang
ilmiah, bukan semata memakan dan termakan oleh “hoax” yang tidak jelas sumber, objektivitas, maupun
kredibilitasnya.
Sekalipun telah penulis
nyatakan serta tegaskan bahwa apa yang ia sebutkan sebagaimana tudingannya
hanyalah “hoax”, namun yang
bersangkutan mendesak penulis untuk memberikan bukti bahwa itu adalah
“hoax”—bukankah aneh serta ganjil, beban pembuktian untuk membantah justru
dibebankan kepada pundak penulis, alih-alih ia yang dibebani beban pembuktian
untuk membuktikan dalil-dalil sebagaimana yang ia klaim untuk kali pertamanya
diskusi berlangsung. Itulah bahaya pertama dibalik termakan dan memakan “hoax”, bagaikan mereka yang meyakini
suatu keyakinan keagamaan yang irasional sekalipun, tanpa bukti empirik, namun
itulah yang mereka pegang teguh sebagai keyakinan yang mereka yakini secara
membabi-buta. Sukar sekali menghadapi tipikal orang-orang semacam demikian,
meski fakta dan realita sudah ada persis di depan mata mereka sendiri. Akibat
delusi serta distorsi persepsi, ibarat pepatah “gajah di depan mata tidak
tampak, namun semut di seberang samudera ditunjuk-tunjuk”, demikianlah fenomena
orang-orang yang memakan serta termakan oleh “hoax”, sebuah “hiper-realitas”.
Selalu saja, yang
didengung-dengungkan ialah “play victim”
kalangan muslim, dimana tiada satupun dari masyarakat kita di Indonesia yang
pernah menyinggung-nyinggung kekejaman Arab Saudi yang menjajah dan menginvasi
masyarakat Yaman yang tidak berdosa, penjajahan Turki atas Libya, perang
saudara saling bunuh (muslim Vs. muslim dan negara islam Vs. negara islam,
bencana kemanusiaan yang menyerupai kutukan abadi di kawasan Timur Tengah) yang
tidak berkesudahan antar muslim di negara-negara Timur Tengah, dan lain
sebagainya—suatu “standar ganda” itu sendiri, alias kepentingan politis kaum
muslim yang hendak meluaskan hegemoninya. Akibat tiadanya kemauan untuk
beradabtasi, kalangan muslim banyak bersikap “rewel” terhadap bangsa maupun
negara tempat dimana mereka berada, semisal Abu Sayaf di Filipina Selatan,
begitupula kondisi kaum muslim separatis di Thailand Selatan yang kerap
membunuhi para bhikkhu.
Telah penulis jelaskan, meski
pemberitaan juga cukup masif, bahwa Rohingya kerap melakukan aksi kekerasan
bersenjata selayaknya para Kelompok Kriminal Bersenjata yang meresahkan di
Papua meski mereka telah diberi alokasi dana khusus untuk Otonomi Daerah.
Bahkan Rohingya di Rakhine-Myanmar kerap melakukan aksi teror!sme, pelatihan
bersenjata militeristik, dan kekerasan yang meresahkan masyarakat Buddhist di
Myanmar, juga aksi teror!sme di India sehingga India menolak keras keberadaan
Rohingya. Begitupula ketika Rohingya mengungsi ke negara lain, meski Rohingya
sejatinya berasal dari Bangladesh—yang artinya juga merupakan sebagai pengungsi
di Myanmar—namun telah ternyata negara-negara mayoritas muslim seperti Malaysia
dan termasuk Indonesia sendiri menolak pengungsi dari etnik Rohingya.
Pernah suatu kali, Rohingya disambut
oleh masyarakat “agamais” Aceh dengan tangan terbuka, namun Rohingya yang tidak
mampu beradabtasi dengan masyarakat setempat, membuat keonaran, sehingga pada
akhirnya terlontar ucapan berikut dari mulut para pengungsi tersebut : “Aceh (negara) miskin, kami mau mengungsi ke
Australia dan Amerika Serikat (negara-negara kafir).” Publik pun kerap dbuat
heboh oleh berbagai keonaran etnik Rohingya yang hanya menjadi beban sosial
bagi negara dimana mereka ditampung. Sekalipun telah bertahun-tahun ditampung
di Indonesia, mereka bersikukuh dan kerap berdemo agar diizinkan mengungsi ke
Australia sekalipun mereka akan lebih bebas beribadah sesuai agama mereka di
Indonesia. Keganjilan juga tampak dari fenomena eksodusnya para warga Suriah
maupun negara-negara berkonflik di Timur Tengah yang justru mengungsi ke Eropa
alih-alih ke negara-negara muslim lainnya di kawasan Timur Tengah.
Begitupula fakta bahwa beberapa
dekade lampau, Junta Militer Myanmar membakari ribuan vihara maupun ribuan
bhikkhu di Myanmar, sehingga apa yang dialami Rohingya oleh Junta Miliar
Myanmar, tiada kaitan dengan agama—namun masyarakat “agamis” di-Indonesia
selalu mengkait-kaitkannya dengan isu ras maupun agama. Beberapa tahun lampau,
Junta kembali bermanuver dengan pertumpahan darah, yakni menggulingkan
pemerintahan demokratis di Myanmar, akibatnya ribuan atau mungkin puluhan ribu
warga Myanmar (para Buddhist) melarikan diri dan menjadi pengungsi ke
negara-negara tetangganya. Mengapa tiada yang menyebut peristiwa tersebut
sebagai “genosida terhadap umat Buddhist” ataupun “koin selamatkan Buddhist
Myanmar” oleh masyarakat di Indonesia yang “agamais” ini?
Sang teman satu almamater,
meski seorang Sarjana Hukum bahkan menyandang gelar sebagai Magister
Kenotariatan dari Universitas Swasta ternama di Indonesia, menyebut peristiwa
Rohingya sebagai “genosida”—penyebutan yang membuat penulis merasa “geli”
sekaligus “miris”, dimana setelah penulis paparkan kesemua fakta-fakta yang
penulis bahas di atas, barulah dirinya mengakui bahwa kejadian di Myanmar ialah
faktor kekejaman militer, tidak terkait agama, dan tidak lagi berani
menyebut-nyebut istilah “genosida”. Kita tidak boleh ber-“standar ganda”, maka
kita pun harus menyebut bahwa Orang Jawa melakukan “genosida” di Aceh, di Timor
Timur, maupun di Papua.
Berlanjut pada perdebatan
panjang dari sang teman satu almamater, tanpa mau belajar dari kelirutahu
dirinya perihal kasus di Rakhine-Myanmar, kini dirinya beralih kepada isu
Uighur di Provinsi Sinjiang-China, yang juga disebut olehnya hendak
di-“genosida” oleh etnik China. Dalam hati penulis bertanya-tanya, yang
bersangkutan ini sebetulnya Sarjana Hukum, ataukah “Sarjana (Pemakan) HOAX”?
Dengan sangat terpaksa, penulis meluangkan waktu yang semestinya untuk kegiatan
produktif, dialokasikan untuk keperluan urgensi mendebat sang “Sarjana HOAX”,
dengan kutipan berikut ini yang tidak lagi dapat dibantah oleh sang “Sarjana
HOAX”—sekaligus memperlihatkan betapa masyarakat kita di Indonesia, meski
berpendidikan tinggi, namun telah ternyata tidak menjamin tingkat intelejensi
yang bersangkutan:
Mau bukti soal kondisi Uighur?
Saya kutip dari https:// news.detik
.com/berita/d-4027365/benarkah-muslim-ditindas-di-xinjiang-china (silahkan buka
link-nya langsung jika tidak percaya)
Ini kutipannya:
Benarkah Muslim Ditindas di
Xinjiang China?
Fitraya Ramadhanny - detikNews
Jumat, 18 Mei 2018 17:50 WIB
Urumqi - Cerita sedih soal
Muslim di Xinjiang, China suka beredar di media sosial Indonesia. Tapi benarkah
itu terjadi?
detikcom mencari tahu
jawabannya dengan mendatangi langsung Xinjiang pada 3-11 Mei 2018 lalu. Di
Ibukota Provinsi Xinjiang Uyghur Autonomous Region, Kota Urumqi, wartawan
beberapa negara berjumpa dengan State Council Information Office China, Information
Office Xinjiang Uyghur Autonomous Region dan Xinjiang Islamic Institute.
Presiden Xinjiang Islamic
Institute, Abdurakib Bin Tumurniyaz adalah seorang pria tinggi besar bersuara
berat. Dia tahu betul betapa pemberitaan negatif soal Xinjiang beredar luas di
luar negeri.
“Berita soal puasa Ramadan
dilarang, itu tidak benar! Datang saja ke sini dan lihat langsung. Tidak ada
aturan larangan. Saya memelihara janggut panjang begini apa saya ditangkap? Kan
tidak,” kata Abdurakib.
Lantas, bagaimana dengan
kerusuhan besar yang pernah terjadi di Xinjiang tahun 2009? Hal itu kemudian
diikuti dengan beberapa kali insiden di tahun-tahun berikutnya.
Abdurakib mengatakan kerusuhan
itu bukan karena masalah agama Islam. Xinjiang menghadapi masalah ekstremisme yang
melibatkan kekerasan. Padahal ajaran Islam sendiri cinta damai, dan pemerintah
China menurut Abdurakib menjamin kebebasan pemeluk agama.
“Berdasar UU di China dan
peraturan agama di Xinjang, setiap warga negara berhak mendapatkan kebebasan
menjalankan agama. Gerakan ekstremisme internasional mempengaruhi Xinjiang,
mereka anti agama dan anti masyarakat. Mereka merusak persatuan masyarakat.
Sehingga melawan ekstremisme adalah untuk kepentingan semua orang,” kata dia.
Dalam penelusuran detikcom,
kerusuhan di Provinsi Xinjiang memang bagai benang kusut. Yang paling banyak
disorot adalah kerusuhan di Kota Urumqi dengan korban tewas lebih dari 197
orang.
Konflik ini bukan dipicu oleh
agama. Kerusuhan diawali konflik antara etnis muslim Uyghur dengan etnis Han.
Namun penting diketahui, konflik ini tidak bisa digebyah-uyah sebagai konflik
semua muslim di Xinjiang. Faktanya, etnis muslim Hui tidak terlibat bahkan
mereka tidak mau menjadi bagian dari konflik.
Khusus untuk etnis muslim
Uyghur, rupanya ada sejarah panjang soal separatisme sejak tahun 1960 yang
dimotori beberapa kelompok, seperti East Turkistan Islamic Movement (ETIM), dan
yang terakhir adalah Turkistan Islamic Party (TIP). Seperti halnya juga di
Indonesia, ada pengaruh kelompok teror seperti Al Qaeda sampai ISIS yang
membuat urusan separatisme Uyghur ini makin keruh.
Sikap keras dan represif
pemerintah China dalam menghadapi kelompok ini juga perlu dikritisi. Pendekatan
humanis perlu dikedepankan. Dari penjelasan Abdurakib, sepertinya pemerintah China
juga menyadari itu.
Xinjiang Islamic Institute yang
berdiri tahun 1982 dengan izin Partai Komunis China (PKC) dan pemerintah
Xinjiang, kini menjadi lembaga pendidikan untuk mempromosikan Islam yang damai.
“Dari lembaga kecil sampai
sebesar ini juga kita didukung PKC. Tahun 2014 kita bikin kampus baru dan
selesai tahun 2017. Pemerintah lokal Xinjiang bantu dana. Kita punya 71
pengajar yang digaji pemerintah Xinjiang dan 480 murid. 5 Tahun kuliah, jadi
sarjana dan lulusan kami jadi imam di berbagai kota di China,” kata dia.
Abdurakib lantas mengajak
detikcom dan wartawan negara-negara lain melihat masjid mereka yang baru dan
megah. Kemudian kami melihat proses belajar di kampus. Para mahasiswa belajar
agama, mengaji dan bahasa mandarin.
Abdurakib tidak menampik fakta
bahwa anak-anak Muslim di sekolah milik pemerintah China, belum boleh
menjalankan ibadah. Pemerintah komunis China memang meniadakan urusan agama
dari segala kantor pemerintahan dan institusinya.
“Jika itu institusi pemerintah
memang begitu aturannya. Tapi selepas dari sana, mereka bisa belajar agama
Islam di sini,” kata Abdurakib mencoba berkompromi.
Menurut Abdurakib, pihaknya
mengedepankan pembangunan budaya etnis minoritas. Mereka membuka kerja sama
dengan dunia internasional dengan dasar saling menghormati dan bukan
intervensi.
“Kita bikin pameran budaya ke
Indonesia dan negara lain. Setiap kebebasan beragama diperhatikan dan
pemerintah juga memperbaiki diri. Xinjiang sebagai Jalur Sutra Baru, kami
mempromosikan dialog antaragama dan antarwilayah,” jelasnya.
Secara terpisah, detikcom juga
bertanya kepada Sultan Mahmood Hali, wartawan senior Nawa-i-Waqt, Pakistan yang
sering bolak-balik ke Xinjiang. Dia mengatakan pembangunan Xinjiang Islamic
Institute memang sungguhan.
“Dulu kantornya gedung tua
bukan di sini tempatnya. Ini gedung baru, saya juga baru lihat dan memang besar
dan bagus,” kata Mahmood Hali.
Jika mau melihatnya secara
objektif, kedua pihak memang ada salahnya. Pemerintah China tidak ingin ada
separatisme, itu bisa dimaklumi. Namun menghadapi kelompok minoritas dengan
sikap represif itu tidak bisa dibenarkan. Kita juga tahu bagaimana China
menghadapi Falun Gong.
Di sisi lain, Uyghur merasakan
kecemburuan etnis dengan Han. Namun memakai jalan kekerasan, separatisme dan
terorisme seperti yang dilakukan sekelompok kecil oknum masyarakat Uyghur, itu
juga salah. Belum tentu semua etnis muslim Uyghur menghendaki cara seperti ini.
Dari kunjungan langsung ke
Xinjiang, bisa dilihat memang ini masalah kesenjangan antar etnis dari faktor
historis yang cukup panjang, baik aspek ekonomi dan politik. Orang Uyghur
cemburu karena orang Han lebih sejahtera secara ekonomi. Orang Han cemburu
karena orang Uyghur tidak terkena One Child Policy dan boleh punya anak lebih
dari satu.
Sayangnya, ada pihak-pihak yang
menutupi akar masalahnya dengan bungkus konflik agama. Hal itu tampaknya supaya
isu Xinjiang ini laku dijual untuk mendapatkan simpati umat Islam di dunia.
Namun, hal itu tidak menyelesaikan akar masalah.
Pemerintah China harus bersikap
lebih lunak lagi. Etnis Uyghur pun harus mengedepankan cara-cara damai.
Hentikan kekerasan. Etnis-etnis minoritas lain di Xinjiang harus membuka
komunikasi dan dialog. Xinjiang adalah pekerjaan rumah yang belum selesai untuk
China.
Orang Uighur sendiri di berita
detik.com tersebut bilang, dan ngaku, berita yang memojokkan China itu HOAX!
So, mohon Chan*** jangan turut
forward hoax ke orang lain, dosa.
Lalu, apa bedanya dengan
rohingya di Myanmar? Sama saja dengan kasus uighur di China, identik.
Barusan tuh ada HTI yang mau
tembak jokowi ke istana presiden, Chan*** dengar beritanya?
Arsyad Mbai, mantan kepala BNPT
bilang, ciri khas teror!s, ialah suka mengkafir2kan (paham fafkiri). Anak2
kecil dekat rumah saya, suka sekali itu meledeki yang non seperti itu, kafir
kafir kafir... mata saya pernah hampir buta dianiaya muslim, kepala ibu saya
dihajar sampai jatuh oleh muslim2 haus darah itu. Dari kecil, sampai saya
dewasa, kenyang saya menghadapi teror!s2 itu.
Journal of Social Science
Teaching, Vol. 4 No. 1 Tahun 2020 https:// journal.iainkudus .ac.id — PDF (ada
di internet), ada kutipan berikut:
“Permasalahan kemanusiaan
muslim Uighur di Cina menjadi salah satu bahasan dunia ... berdirinya negara
Cina, umat muslim cukup mendapat perlakuan yang baik.”
Ini sumber yang lebih sahih:
https:// mui. or.id/berita/25371/kunjungi-china-mui-tabayyun-masalah-muslim-uighur/
Ini kutipannya, atau buka
sendiri link-nya:
Kedatangan delegasi MUI ini
merupakan undangan dari pihak China. Tujuannya melakukan tabayyun terhadap
berita diskriminasi kepada Muslim Uighur yang selama ini sudah beredar dari
media masa maupun media sosial. Delegasi MUI mendatangi CIA terlebih dahulu
selain silaturahmi, juga menambahkan informasi yang seimbang dalam proses
tabayyun ini.
“Karena beredar informasi di
media sosial tentang kondisi Muslim Uighur, kami perlu mendapatkan informasi
sebagai penyeimbang. Kami tidak sepenuhnya percaya dengan pemberitaan tersebut,
kami percaya masih ada ruang untuk dapatkan info lebih akurat,” paparnya.
Ketua CIA, Syekh Hasan Yan
Faming mengatakan, level kebebasan menjalankan perintah agama di China
berangsur-angsur membaik pasca adanya kebijakan birokrasi dan informasi oleh
pemerintah. Tahun ini, ungkapnya, China resmi menapaki tahun ke 40 sejak
pemberlakuan kebijakan birokrasi pertama kali. Kehidupan di China pun berjalan
semakin baik.
“Indeks kebahagiaan China juga
meningkat. Lebih banyak yang bisa beribadah. Empat tahun lalu orang yang bisa
beribadah lebih dari 12 ribu orang. Saat ini, beribadah di di China bisa secara
aman, teratur, beradab. Di bawah dukungan pemerintah, sekarang kami bisa
koordinasikan pemberangkatan muslim ke Mekah dari enam kota,” pungkasnya.
Dipaksa, tidak mau dan menolak
secara keras serta menuntut diberi toleransi. Namun sebaliknya, memaksa,
menjadi wajah keseharian mereka yang berbangsa secara intoleran semata karena telah
menjadi mayoritas. Ketika masih minoritas, menuntut dan menikmati toleransi.
Namun ketika sudah menjelma mayoritas, para muslim justru ingin memberangus
toleransi yang dahulu mereka tuntut dan nikmati (lihat Kitab Jawa bernilai
sejarah bernama DHARMO GHANDUL yang sudah tersedia versi terjemahannya).
Pemberitaan berikut akan
memperlihatkan disaat bersamaan membuktikan kepada kita, betapa serta siapa
yang sesungguhnya selama ini beriskap “intoleran namun menuntut diberi
toleransi” serta “intoleran teriak intoleran”, yakni berita bertajuk Pemaksaan
Busana dengan Identitas Keagamaan Tertentu, diakses tanggal 23 November 2022,
sumber https:// www. hukumonline .com/berita/a/4-rekomendasi-komnas-perempuan-soal-pemaksaan-pakaian-identitas-agama-lt63031beb5442b/
Tercatat sampai tahun 2021, ada
62 kebijakan terkait pengaturan busana yang memuat unsur diskriminasi.
Termasuk 13 daerah menerbitkan aturan yang mewajibkan PNS mengenakan seragam berdasarkan
ajaran agama tertentu.
Kasus pemaksanaan pakaian
dengan identitas agama tertentu kerap terjadi di beberapa daerah. Ketua
Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, mengatakan lembaganya prihatin terhadap
berulangnya kasus pemaksaan pakaian dengan identitas agama tertentu seperti
yang terjadi di Bantul, Yogyakarta.
“Komnas Perempuan mencatat,
peristiwa serupa terus berulang dan banyak dialami oleh siswi maupun Pegawai
Negeri Sipil (PNS) di berbagai daerah,” kata Andy ketika dikonfirmasi, Senin
(22/8/2022).
Sepanjang 2014 sampai sekarang,
Komnas Perempuan mencatat kasus yang menimpa korban ditandai tindakan main
hakim sendiri dengan upaya pemaksaan, pelarangan dan atau perundungan
terhadap penggunaan busana dari ajaran agama tertentu oleh pihak sekolah.
Pemaksaan itu berkaitan dengan kebijakan di daerah, seperti Perda dan Perkada.
“Dikhawatirkan masih banyak
kebijakan serupa di lingkungan pendidikan, lembaga pemerintahan dan disertai
sanksi,” kaya Andy.
Andy mengingatkan kebijakan
daerah berdasarkan agama tertentu bertentangan dengan UU No.15 Tahun 2019
Perubahan atas Undang-Undang No.12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan, khususnya pada asas kenusantaraan, bhinneka tunggal ika,
keadilan dan lainnya. Sampai tahun 2021, masih ada 62 kebijakan yang efektif
berlaku terkait pengaturan busana yang memuat unsur diskriminasi. Termasuk
diantaranya 13 daerah yang menerbitkan aturan yang mewajibkan PNS mengenakan
seragam berdasarkan ajaran agama tertentu.
Menurut Andy, pemaksaan
pakaian itu mengakibatkan traumatis berkepanjangan, ketakutan, hilangnya rasa
aman, dan perlindungan untuk berbuat sesuatu. Dia menduga banyak korban
yang tidak melaporkan tindak pemaksaan dan pelarangan itu karena merasa takut
dan tidak aman. Berulangnya peristiwa serupa menunjukkan masih kuatnya
politik identitas berkaitan dengan praktik diskriminasi.