(DROP DOWN MENU)

Zolim namun Teriak Dizolimi, sebagai Alasan Pembenar untuk Bersikap Radikal Membunuh, sebuah Modus

SENI JIWA

Pertanyaan bagi para Muslim, Mohon Klarifikasi dan Dijawab

Sekalipun memang benar telah dizolimi, namun apakah artinya sampai harus membalas dengan sebuah pertumpahan darah, korban jiwa, bahkan hingga pembunuhan? Senggol dikit, bunuh. Singgung dikit, bunuh. Sikut dikit, bunuh. Sungguh pendek “sumbu”-nya, dimana segala sesuatu diselesaikan dengan kekerasan fisik, bahkan pembunuhan untuk membungkam segala sesuatu yang bersifat majemuk atau berbeda. Segala sesuatu, mengatas-namakan agama sebagai alibi untuk perbuatan-perbuatan tercela seperti “parkir liar” (itu sedang dalam rangka beribadah, bagaimana ketika mereka tidak sedang beribadah dan tidak sedang memakai busana agamais?), mengait-kaitkan dengan agama, menjadikan ayat-ayat keagamaan sebagai justifikasi untuk melakukan perbuatan tercela, bahkan mengeluhkan praktik ibadah kaum agama tertentu yang menimbulkan “polusi suara” dipandang sebagai “menista toa speaker pengeras suara = menista agama”.

Mereka, tidak segan melakukan segala kekerasan fisik hingga merampas hak hidup pihak lain, dimana seolah-olah sedang menjadi “pejuang” Tuhan, tanpa rasa malu ataupun takut, dimana kepada para korbannya masih juga mereka akan berkata sebagai berikut : “Masih untung Anda hanya kami aniaya hingga babak-belur. Anda semestinya bersyukur, tidak sampai kami bunuh!”—seakan-akan mereka punya hak untuk merampas hak hidup sesama manusia lainnya. Tuhan yang memberikan kehidupan, namun mengapa manusia lainnya yang merasa memiliki hak untuk melakukan penghakiman dengan merampasnya dan mencoba mendahului kuasa Tuhan? Jika mereka yakin bahwa Tuhan adalah “Maha Kuasa”, maka mengapa juga Tuhan butuh tangan-tangan mereka untuk merampas nafas dan hidup manusia lainnya?

Selama ini para Muslim menyatakan bahwa Islam lewat tangan nabi mereka, memerangi para zolim, para pendosa, dan para pelaku maksiat. Namun, secara kontradiktif, dimana “hanya seorang pendosa yang membutuhkan pengampunan dosa”, telah terbukti sebaliknya : Aisyah bertanya kepada Rasulullah SAW, mengapa suaminya shalat malam hingga kakinya bengkak. Bukankah Allah SWT telah mengampuni dosa Rasulullah baik yang dulu maupun yang akan datang? Rasulullah menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?” (HR Bukhari Muslim).

Dosa-dosa apa sajakah yang telah dibuat oleh nabi junjungan para Muslim? Sang nabi “bersyukur” dihapus dosa-dosanya, namun bukankah menjadi petaka serta kabar buruk yang tidak disyukuri para korban dari sang nabi “pendosa” (pengakuan Aisyah dan sang nabi Agama Islam itu sendiri, bahwa sang nabi jauh dari kata “suci” terlebih untuk menyandang gelar sebagai “suciwan”)? Kabar baik bagi pendosa, tentu menjadi kabar buruk bagi para korban dari sang pendosa. Telah ternyata, kita temukan jawaban dalam sumber rujukan otentik dalam Agama Islam itu sendiri, salah satunya ialah Al-quran dan Hadist berikut:

- QS An-Nissa 25 : ‘Dan (diharamkan bagi kamu mengawini) wanita yang bersuami kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari Isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina.’

Bukankah praktik perbudakan adalah praktik bangsa yang belum beradab, mengapa justru perbudakan seksuil maupun perbudakan tenaga manusia semacam “kerja rodi” justru dipromosikan dan dikampanyekan oleh Agama Islam, alih-alih dikutuk dan dimusnahkan maksiat primitif demikian dari muka Bumi? Bukankah konon katanya Islam meluruskan apa yang selama ini bengkok dan memusuhi maksiat? Mengapa perbudakan tidak dilarang oleh Islam? Apakah praktik perbudakan, termasuk budak seksuil, tidak lebih buruk daripada berzina dengan wanita yang bukan budak (diperbudak, dijadikan “mangsa seksuil” pula dimana sang budak tanpa daya diperkosa dan di-halal-kan Tuhan bagi para Muslim)?

Praktik menyembah berhala adalah syirik dan musyrik, menurut Agama Islam. Namun, tiada agama manapun diluar Islam, yang sampai-sampai menciumi patung. Kontradiktif antara ajaran dan perbuatan, “berhala teriak berhala”, merujuk pada : Umar bin al-Khattab, rekan Muhammad terusik dengan apa yang dilihatnya. “Umar mendekati Batu Hitam dan menciumnya serta mengatakan, ‘Tidak diragukan lagi, aku tahu kau hanyalah sebuah batu yang tidak berfaedah maupun tidak dapat mencelakakan siapa pun. Jika saya tidak melihat Utusan Allah mencium kau, aku tidak akan menciummu.” [Sahih al-Bukhari, Volume 2, Buku 26, Nomor 680]

Para Muslim selama ini menyatakan bahwa adalah “RUGI” mereka yang tidak memeluk Agama Islam. Jika memang NON-Muslim adalah “merugi”, semata karena memilih untuk menjadi kaum “NON”, maka mengapa para Muslim yang kemudian “kebakaran jenggot” sampai kemudian memaksakan dan masih juga menimpuk / melemparkan “batu” yang mereka sembah dan ciumi ke arah para “NON”? Telah ternyata terdapat rujukan resmi, yang menerangkan betapa para Muslim merasa bersyukur (alih-alih merasa malu) memeluk Islam, sebagai “kabar baik” (bagi siapa?):

- Shahih Bukhari 6933 : “Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar telah menceritakan kepada kami Ghundar telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Washil dari Al Ma’rur berkata, “Aku mendengar Abu Dzar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Jibril menemuiku dan memberiku kabar gembira, bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga.” Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzina? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzina.”

Terhadap kaum yang berbeda keyakinan, para Muslim demikian intoleran. Namun, terhadap dosa dan maksiat, mengapa para Muslim justru sebaliknya, demikian kompromistik? Selama ini, para Muslim mengaku serta mengklaim bahwa kaum Islam berperang karena dizolimi, klaim atau dalil klasik yang terus diulang-ulang, “play victim”. Kini, penulis mohon serta menantang kepada para Muslim untuk memberikan penafsiran ajakan atau seruan perintah (wajib dijalankan segala perintah Tuhan agar tidak tergolong “murtad”) berikut sebagai toleran dan “cinta damai” adanya, merujuk Hadist Tirmidzi Nomor 2533:

- “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan 'TIDAK ADA TUHAN SELAIN ALLAH DAN BAHWA MUHAMMAD RASUL ALLAH', menghadap kiblat kami, memakan sembelihan kami, dan melakukan shalat dengan kami. Apabila mereka melakukan hal tersebut, niscaya kami diharamkan MENUMPAHKAN DARAH dan MERAMPAS HARTA mereka.”

Para NON-Muslim, ketika diancam akan dibunuh dan dirampok demikian, apakah hanya boleh untuk berdiam diri menunggu menjadi “sasaran / mangsa empuk” seolah tidak punya hak untuk membela dan melindungi diri ketika dizolimi pemaksaan agama yang melanggar hak asasi manusia? Pemaksaan agama merupakan kejahatan perang, pelakunya bukankah layak disebut sebagai penjahat perang yang harus diseret dan diadili di hadapan Mahkamah khusus bagi Pelaku Kejahatan Perang?

Wajar dan manusiawi serta patut dimaklumi, bilamana para NON-Muslim melakukan pembelaan diri ketika diancam akan dibutuh, menolak dibunuh, serta melakukan perlawanan sengit—perlawanan sengit mana untuk mempertahankan hidup dari ancaman pembunuhan olah para Muslim mana, oleh para Muslim selaku penyebabnya, justu kemudian dijadikan alibi atau “alasan pembenar” untuk berteriak “zolim teriak dizolimi”, sebelum kemudian terbitlah ayat-ayat berikut seolah Tuhan mendelegasikan dan membenarkan para Muslim untuk membuat gaduh (berperang dan memerangi) hingga taraf ekstrem seperti merampas hak-hak hidup para NON-Muslim yang sekadar bela diri untuk bisa “survive”:

- QS 9:29. Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah (upeti) dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.

- QS 9:14. Perangilah mereka, niscaya Allah akan menyiksa mereka dengan (perantaraan) tangan-tanganmu dan Allah akan menghinakan mereka dan menolong kamu terhadap mereka, serta melegakan hati orang-orang yang beriman.

- QS 66:9. Hai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah neraka Jahannam dan itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.

- QS 2:191. Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir. [Balas dizolimi dengan pembunuhan, itukah keadilan dan kedamaian dalam islam?]

- QS 5:33. Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.

- QS 8:12. Ingatlah, ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkanlah pendirian orang-orang yang telah beriman”. Kelak aku akan jatuhkan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir, maka PENGGALLAH KEPALA MEREKA dan PANCUNGLAH TIAP-TIAP UJUNG JARI MEREKA.

QS 9:5. Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian. [Sebagai bukti, selama ini kaum mana dan siapa yang lebih suka menyerang, alih-alih yang dizolimi. Bagaimana mungkin, yang diserang justru yang sembunyi-sembunyi mengintai dan mengepung, sebelum kemudian menangkapi orang-orang untuk dibunuh?]

Kepada para Muslim dan Muslimin sekalian se-Tanah Air, penulis mengajak para Muslim untuk menjawab atau setidaknya mengklarifikasi kebenaran dalil-dalil di atas, mengingat sumber rujukannya baik Hadist yang sahih maupun Al-quran dapat diakses bebas oleh publik secara mudah untuk verifikasi substansi ayat-ayatnya. Setidaknya para Muslim memberikan jawaban berupa penafsiran yang lebih toleran, yang lebih damai, yang lebih anti kekerasan, yang lebih penuh cinta kasih, terhadap fakta-fakta yang mana bila dibantah oleh para Muslim, sama artinya mereka selaku umat Islam telah menista agama mereka sendiri karena memungkiri isi kitab Hadist maupun Al-quran yang selama ini mereka sucikan dan kultuskan. Ditunggu jawaban ataupun penjelasan yang lebih “humanis” oleh para Muslim.